Malam itu, Bayu mencoba menenangkan pikirannya. Ia memijat pelipisnya, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Setiap kali ia mencoba meresapi kata-kata Reza tentang sosok bayangan dan suara perempuan berbisik, ia seperti terseret dalam pusaran kegelisahan yang semakin kuat. Pikirannya tidak bisa lepas dari perasaan bahwa sesuatu telah ikut terbawa dari ruang terapi tadi siang, sesuatu yang tak seharusnya masuk ke dalam hidupnya.
Satu per satu potongan kata-kata Reza terlintas dalam pikirannya, menari-nari dalam gelapnya malam. Cerita tentang mimpi-mimpi yang meresahkan, di mana ia berjuang melawan bayangan yang tampak hidup, dan suara perempuan yang memanggil namanya dalam kegelapan. Reza berbicara tentang ketidakberdayaannya, bagaimana ia merasa terjebak dalam mimpi yang terus berulang, seolah ada entitas yang berusaha menariknya ke dalam kegelapan yang lebih dalam. Bayu merasakan ketegangan itu menjalar dalam dirinya, seolah ia pun menjadi bagian dari kisah itu.
Di sekelilingnya, rumah mereka tampak sunyi seperti biasa, namun keheningan malam itu terasa berbeda, seolah-olah ada mata tak terlihat yang mengintai dari balik setiap sudut.
Kedamaian yang biasanya menjadi teman di malam hari kini terabaikan. Suara detak jam dinding terasa lebih keras, mengisi kekosongan dengan irama yang semakin menegangkan. Bayu tidak bisa menyingkirkan pikiran tentang kemungkinan bahwa ada sesuatu yang mengintai, sesuatu yang menunggu saat yang tepat untuk mengganggu ketenangan hidupnya.
Ia menghela napas panjang dan menatap sejenak ke luar jendela. Malam tampak pekat, tanpa bintang. Bayangan pohon mangga di halaman bergoyang perlahan, diterpa angin yang membuat dedaunan berdesir. Namun, di sela-sela suara alam itu, Bayu merasa mendengar sesuatu, seperti desah napas pelan, terlalu dekat untuk dianggap kebetulan. Ia menajamkan telinga, tapi suara itu hilang begitu saja, meninggalkan perasaan tidak nyaman yang merayap di dadanya.
Keheningan malam mulai pecah dengan suara yang aneh, seperti desahan yang mengganggu ketentraman hatinya. Setiap suara yang seharusnya menenangkan justru menambah kegalauan. Bayu berusaha meyakinkan diri bahwa semua ini hanyalah imajinasinya, tetapi jiwanya berontak, menolak untuk percaya pada logika semata. Ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang lebih dalam dan lebih gelap dari yang ia kira.
“Cuma capek,” gumamnya, mencoba mengusir pikirannya sendiri. Tapi dia tahu, di balik rasionalitasnya, ada kekhawatiran samar yang terus menggeliat.
Setiap kali ia mencoba menenangkan pikirannya, rasa takut itu muncul kembali, membuatnya terjaga di antara kenyataan dan dunia mimpi yang kelam. Ia merasa seperti berada di tepi jurang yang dalam, dan setiap detik ia menunggu, menahan napas, seolah sesuatu yang jahat sedang menunggu untuk merenggutnya.
Keesokan harinya, Bayu mencoba mengalihkan pikirannya dengan rutinitas biasa. Ia menemui pasien-pasien lain, mendengarkan keluh kesah mereka, dan mencatat kemajuan terapi. Namun, entah kenapa, sosok Reza selalu muncul di benaknya. Wajah pucat pria itu, dengan mata sayu yang penuh ketakutan, terus menghantui ingatannya. Terlebih, cerita tentang mimpi buruknya di mana ia merasa tubuh dan jiwanya terperangkap dalam dunia lain.
Setiap senyuman dan keluh kesah pasiennya tampak kabur, dan hanya wajah Reza yang menghantuinya. Bayu merasa terjebak dalam dua dunia: satu dunia yang nyata dan satu lagi yang gelap dan menyeramkan. Dia tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa Reza bukan hanya sekadar pasien dengan masalah psikologis, tetapi ada sesuatu yang lebih mistis, yang mungkin bisa mengancam kedamaian hidupnya.
Ketika Bayu selesai dengan klien terakhir sore itu, ia berjalan menuju mobilnya dengan langkah cepat. Namun, saat hendak membuka pintu mobil, ia menangkap sesuatu di sudut matanya: sebuah bayangan hitam bergerak cepat di belakangnya, seolah-olah seseorang berdiri di sana lalu berlari pergi. Ia menoleh tajam, tetapi yang terlihat hanya parkiran kosong.
Bayu menggigit bibirnya, merasakan dingin merayap di sepanjang tulang punggungnya. Keberadaan bayangan itu, meski sekilas, membangkitkan rasa khawatir yang mendalam. Apakah ini hanya ilusi? Ataukah sesuatu memang sedang mengintainya?
Jantungnya berdegup lebih cepat. “Pasti cuma bayangan,” pikirnya. Namun, rasa dingin di tengkuknya berkata lain.
Ketika Bayu masuk ke mobil dan menghidupkan mesin, rasa cemasnya tak kunjung surut. Mobilnya seolah terasa lebih sempit, mengekang pernapasannya yang mulai terbata-bata. Di jalan, ia merasa ada yang memperhatikannya, seolah bayangan itu mengikuti dari belakang, meski ia tahu bahwa tidak ada siapa-siapa.
Malam itu, ketika Bayu duduk di sofa bersama Nina, ia merasa sedikit lebih tenang. Mereka menonton film sambil menikmati kopi, namun suasana di antara mereka terasa ganjil. Nina, yang biasanya cerewet dan suka mengomentari setiap adegan, malam itu lebih banyak diam. Sesekali ia melirik Bayu dengan ekspresi cemas, seolah ingin mengatakan sesuatu tapi menahannya.
Bayu menangkap pandangannya dan merasakan ketegangan di antara mereka. Keheningan yang meliputi ruangan menambah rasa tak nyaman dalam jiwanya. Dia tahu bahwa Nina merasakan hal yang sama, tetapi tidak tahu bagaimana cara untuk mengungkapkan ketakutan itu. Mereka berdua terjebak dalam perasaan yang tidak bisa dijelaskan, seolah ada sesuatu yang tidak beres di rumah mereka.
“Kamu kenapa?” tanya Bayu akhirnya, menoleh ke istrinya.
Nina tampak ragu sejenak, lalu akhirnya berbicara, “Kamu ngerasa rumah ini agak aneh, nggak?”
Bayu tertegun. “Maksud kamu?”
Nina menatap sekeliling ruangan, ekspresinya serius. “Lampu di dapur kedip-kedip tadi sore, tapi nggak ada masalah sama listriknya. Dan, tadi pagi... aku denger suara pintu kamar mandi kebuka sendiri. Padahal, kita cuma berdua di rumah.”
Bayu terdiam, mencoba mencerna kata-kata istrinya. Kecemasan di wajah Nina menunjukkan bahwa mereka tidak sendirian dalam perasaan ini. Jika dia mulai merasa ada sesuatu yang salah, mungkin memang ada sesuatu yang sedang terjadi. Ini bukan lagi sekadar halusinasi; ini adalah sinyal dari alam semesta yang harus mereka perhatikan.
Bayu menahan napas. Ia menoleh ke arah Nina, tapi istrinya sudah terlelap. Bunyi itu semakin jelas, diikuti dengan suara berdecit pelan, seolah ada pintu yang terbuka di lantai bawah. Bayu bangkit perlahan dan berjalan ke luar kamar, berusaha memastikan bahwa semua pintu terkunci. Namun, saat ia tiba di ruang tengah, lampu di koridor tiba-tiba berkedip-kedip sebelum akhirnya padam sepenuhnya, meninggalkannya dalam kegelapan.
Gelapnya malam menyelimuti, dan Bayu merasakan jantungnya berdebar semakin kencang. Setiap langkahnya terasa berat, dan rasa takut menyelimuti pikirannya. Ia berusaha mengendalikan diri, tetapi kegelapan seolah menyedot keberaniannya. Dengan rasa was-was, ia menyentuh dinding untuk menuntunnya, berusaha menjauh dari bayangan yang mengintai.
Di tengah gelapnya malam, Bayu merasakan kehadiran sesuatu. Udara di sekitarnya terasa berat, dan ia mendengar bisikan samar suara seorang perempuan, memanggil namanya dengan lembut namun memancing rasa takut.
“Bayu...”
Suara itu melayang di telinganya, seolah datang dari jauh, tetapi juga sangat dekat. Bayu merasa tenggorokannya kering, dan keringat dingin mengucur dari pelipisnya. Ia ingin berlari, tapi kakinya terasa kaku, seolah terikat oleh sesuatu yang tidak terlihat. Dalam ketegangan itu, ia menyadari bahwa apa pun yang hadir di malam ini bukanlah sesuatu yang bisa dia abaikan.
Ia menoleh cepat, tapi tak ada siapa pun di sana. Jantungnya berdegup kencang, sementara keringat dingin membasahi punggungnya. Ia kembali ke kamar dengan langkah terburu-buru, menutup pintu, dan menguncinya rapat-rapat.
Dalam gelap kamar, Bayu berusaha menenangkan diri, tetapi pikirannya terus berputar dalam kekacauan. Bisikan itu terus menghantuinya, Bayu mencoba untuk tidur. Meskipun sulit akhirnya Ia terlelap juga.
Pagi harinya Bayu terbangun dengan jantung berdebar, tubuhnya basah kuyup oleh keringat. Bayangan yang dilihatnya semalam menghilang, namun perasaan tertekan di dadanya tetap ada. Ia merasakan ketidaknyamanan yang luar biasa, seolah ada sesuatu yang tak terlihat menggenggam hatinya. Dengan tangan gemetar, ia meraih ponselnya dan membuka aplikasi catatan untuk menulis semua yang dialaminya, berusaha menyalurkan rasa takut menjadi kata-kata.
Saat menulis, ia teringat kembali pada Reza. Pria itu bukan hanya seorang pasien, tetapi juga seseorang yang sepertinya terjebak dalam kegelapan. Mungkinkah ia telah menularkan sesuatu padanya? Bayu mengernyit, berpikir untuk menjadwalkan sesi terapi mendatang dengan Reza, kali ini lebih dalam dan lebih hati-hati. Ia perlu mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di balik mimpi buruk dan sosok bayangan yang menghantui pria itu.
Setelah menyiapkan diri dan menyeduh secangkir kopi, Bayu mencoba mengumpulkan pikiran. Ia merencanakan untuk mencari tahu lebih banyak tentang latar belakang Reza. Siapa dia sebelum datang ke ruang terapinya? Dari mana asalnya? Ia merasa, semakin banyak informasi yang didapat, semakin mudah ia memahami ketegangan yang ada.
Hari itu berjalan lambat. Bayu merasa tidak fokus selama sesi terapi dengan pasien-pasien lainnya. Meski mereka berjuang dengan masalah masing-masing, pikiran dan perhatian Bayu selalu tertuju pada Reza. Terlebih saat mendengar bunyi jam dinding, ia seolah mendengar suara bisikan lembut yang sama dari malam sebelumnya.