Cuaca Jakarta sore ini cukup redup. Gelayutan awan seperti menahan berat hujan yang akan ditumpahkan beberapa saat lagi. Swaradita Anjani, seorang karyawan dari perusahaan multinasional, termenung beberapa saat. Ia sedang berdiri di depan jendela kaca pantry kantornya yang terletak di lantai 25 sambil memandang rona abu-abu awan itu dengan gelisah.
Apakah harus kukontak orang rumah untuk menaikkan perabotan ke lantai dua? Sepertinya akan banjir lagi, batinnya. Sudah dua kali rumah sekaligus kosan yang dikelola oleh orangtua Dita, panggilannya, kebanjiran. Banjir yang pertama tidak sempat tertangani dengan baik karena ia dan penghuni kos kurang persiapan. Yang kedua? Jangan salah, persiapan Dita dan seluruh penghuni kos sudah sangat matang karena melihat curah hujan makin menggila di tengah malam. Paginya, air masuk rumah hanya sampai teras, memandang sedih otot-otot penghuni kos yang sudah mengangkut perabotan ke lantai dua kemarin sore.
Drrt. Drrt. Drrt. Drrt. Drrt. Drrt.
Suara telepon genggam di samping komputer merusak konsentrasinya lagi. Sudah dua kali ini telepon genggam itu bergetar sedangkan Dita sudah diburu untuk menyelesaikan proposal presentasi minggu depan. Pikirannya sudah terbagi antara mengontak orang rumah atau persiapan presentasi. Sekilas ia melirik siapa yang menelepon sore-sore begini. Kim Michael Manager. Nama itu muncul di layar telepon genggamnya. Ia adalah mantan atasan Dita sebelum dipindahkan ke divisi ini. Dita segera menekan tombol hijau sebelum getaran telepon genggamnya menghilang.
“Halo, Mike?”
“Hei, Dita! How’s your day? Lama banget angkatnya, lagi sibuk?” cerocos Mike dari sudut sana.
“Not really, saya sedang mengerjakan presentasi untuk branch office yang mau dibuka. Kamu sendiri ada apa kontak saya tiba-tiba. Something’s wrong?”
“Branch office yang food and beverages ya? D&D Corporation memang parah sih ini mau nyaplok segala industri,” nada bicara Mike sudah satu level dengan orang Indonesia asli. Makhluk impor dari Korea Selatan ini sudah memiliki lidah fasih orang Indonesia disertai kemampuan julidnya bak ibu-ibu perumahan.
“To the point Mike, please, will you? Saya masih kejar deadline dan ada pikiran bakal kena banjir lagi nih kayaknya rumah saya. Pengen cepet pulang,” alih Dita. Baginya, Mike adalah atasan yang cukup terbuka untuk menceritakan tentang kehidupannya. Hubungannya sudah seperti sahabat meskipun masih ada batasan antara atasan dan staf. Selain itu, meskipun Mike lebih muda dua tahun tetapi harus diakui kemampuan managerial nya sudah di atas rata-rata.
“Ok, ok, sorry, out of topic. Dit, bisa nggak malam ini kita ketemu? Atau besok siang? Saya butuh bantuan. Tapi tergantung kamu juga mau bantu atau nggak sih. So far, saya baru kepikirannya kamu aja,” jelas Mike.
“Mike, i’ve told you, saya sudah bilang sore ini saya harus cek rumah karena takut kebanjiran lagi. Besok siang aja lunch. Mau dimana nanti saya pesankan,” jawab Dita.
“Nggak usah mikir banget Dit, nanti saya kabari via text, see you then!”
Suara telepon diputus terdengar di hadapan Dita yang masih memandangi telepon genggamnya. Ada apa lagi ini si Mike, batin Dita. Pertanyaan itu hanya hadir sekilas lalu tertutupi dengan pikiran tentang deadline presentasi dan rumah yang kemungkinan kebanjirannya sudah melebihi bisa dipastikan.
“Balik duluan, Dit!” teriak Anya dari seberang partisi.
“Yoi, Nya, tar lagi gue nyusul tinggal ngeprint doang ini,” jawab Dita tanpa melihatnya berlalu.
Jam besar di ruang staf memang sudah menunjukkan pukul 17.30. Dita terlalu larut dalam pekerjaannya hingga tidak melihat waktu. Badannya terasa pegal sekali hari ini sehingga ia meregangkan seluruh otot punggungnya ke belakang sembari menanti print out selesai. Tak lama, Dita sudah membendel kertas-kertas presentasi itu dan diletakkan masing-masing di meja Anya, meja Fahmi dan meja atasannya, Bu Nur. Sisa satu lagi ia masukkan ke dalam map dan dibawanya pulang. Untuk jaga-jaga.