Sebuah pesan singkat diterima oleh telepon genggam di sebuah penthouse di daerah Jakarta Selatan. Lokasi tempat tinggal yang terhitung strategis dengan harga fantastis menunjukkan kelas dari pemiliknya. Kim Michael yang baru saja terbangun dari tidurnya melihat pesan itu lalu menggerutu seakan pesan singkat itu sudah merusak harinya.
Mom : Get over it, sebentar lagi waktunya akan tiba, selesaikan tugasmu.
Mike beringsut keluar dari selimutnya setelah menekan tombol delete pada pesan yang baru saja ia terima. Hanya menggunakan celana training sebagai baju tidur ia mengambil sekotak karton susu dari lemari pendingin dan membuka korden di ruang tengah. Ia menatap matahari yang masih mengintip di balik awan. Suasana pagi Jakarta yang masih mendung tidak terlalu menggairahkan otaknya untuk berpikir. Cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Bagi Mike jika berpikir membuatnya ada, maka cukup bernafas saja sudah membuatnya bermakna ada. Kim Michael adalah seorang putra kedua dari keluarga terpandang di Korea Selatan. Paling tidak ia memiliki kelas sosial yang cukup tinggi di masyarakat setempat. Hanya saja, tidak banyak yang mengetahui ia adalah putra dari istri kedua direktur utama perusahaan tempat ia bekerja sekarang. Sejak kecil ia ditekan mati-matian oleh ibunya untuk menjadi yang terbaik meskipun sebenarnya itu adalah alasan ibunya agar sang direktur memberikan perhatian pada mereka.
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, bakat bisnis Mike sudah nampak sejak ia kecil. Bahkan ia memiliki kapabilitas yang lebih baik dibandingkan kakak tirinya. Direktur utama sering memuji Mike akan tetapi pada satu titik Mike menolak mentah-mentah pujian dan harapan yang diberikan di pundaknya. Ia bahkan merelakan untuk mengganti marga nya agar tak perlu dikaitkan dengan keluarga besar Nam. Pemberontakan itu cukup memberikan tekanan bagi keluarganya. Hingga akhirnya direktur Nam bersedia Mike mengganti marga namanya asalkan ia tetap bekerja di perusahaan orangtuanya.
Persetan dengan negosiasi, mereka sudah memikirkan masak-masak untuk tetap mengambil keuntungan dari isi otakku, batin Mike saat itu.
♠♠♠
Masa kecilnya bukan masa kecil yang bahagia meskipun segala kebutuhan Mike terpenuhi. Adat istiadat yang masih dijaga di keluarga inti menjadi beban baginya. Mike pernah merasa bukan keinginannya untuk dilahirkan dengan IQ di atas rata-rata dan kemampuan memimpin yang lebih baik dibandingkan kakaknya. Hanya saja, alasan bahwa ia dianggap lebih baik dibandingkan dengan kakak tirinya cukup menjadi pikiran yang mengganggu.