Prelude I
“Dan ketika rasa ingin tahu tidak dibarengi dengan etika serta empati, disitulah kamu menemukan kekejaman yang tak terbayangkan,”
Langit menjatuhkan abu dari pikirannya yang kelabu. Membungkus kastel dengan selimut kabut. Berusaha menyembunyikan rahasia kelam dalam spire kastel yang mencuat tajam bagai pucuk mahkota hitam dari seorang penjahat. Cahaya matahari musim dingin menerobos jendela-jendela raksasa yang menjulang tinggi. Menancap ke langit-langit penuh lukisan bertemakan kehidupan surgawi yang tertutup bayangan gelap. Mengerucut seperti tangan-tangan yang berdoa memohon ampunan pada gereja di abad pertengahan. Sinar mentari itu tidak menghangatkan, tidak pula menghibur tetapi ia hadir menemani seorang bocah laki-laki berambut hitam yang tengah berpikir keras menatap kanvas lukisannya.
Yang tampak di lukisan itu hanya goresan kelabu dan cokelat acak yang hanya bisa dipahami oleh seniman tinggi. Si bocah menipiskan bibirnya, menyiratkan kebimbangan untuk melanjutkan lukisannya. Tangan pucat mungilnya memegang palet cat dan gagang kuas kayu yang tampak kusam dinodai waktu. Dia mencengkeram dengan cengkeraman kuat melampiaskan rasa frustasinya.
Sepasang netra kelabunya menatap botol-botol cat yang tampak semrawut. Tatapannya terpaku pada isi botol hitam dan merah. Yang satu menyirat kan kedalaman misteri, kematian dan kesan elegan. Yang lain menyiratkan gairah yang kuat, kemarahan, hasrat terdalam bercampur sensualitas dan kebrutalan. Masing-masing hanya terisi setengah. Hanya cukup untuk dipakai sekali pakai. Meskipun dia mewarnai dengan cat akrilik yang dengan mudah ditimpa dengan warna lain tanpa tercampur, dia hanya punya sekali kesempatan untuk masing-masing warna. Bagaimana jika dia mencoba warnanya bergantian dan mendapati kalau dia lebih suka pilihan pertama?
Kekesalan menyelinap ke kerumitan kusut perenungannya, seperti pencopet yang menyelinap di tengah khalayak London. Selincah itu pula pertanyaan tersebut dapat berpindah ke ranah filsafat yang dibencinya. Sewajarnya manusia, selalu takut dan membenci hal-hal yang tidak dipahaminya.
Tapi sekarang, dia tidak sedang berada di Agora Athena. Dia sedang duduk di studio Lukis di kastel berusia 5 abad. Bocah itu mecoba mempertegas dirinya dari pikiran mengawang-awang. Dia tidak ingin terkekang dalam pertanyaan semi-filosofis ini, dia sangat ingin mengakalinya. Ia ingin menang
Dia orang kaya dan membeli cat akrilik dengan kualitas bagus adalah hal remeh. Namun tetap saja, dia bukan jinnya Aladdin yang bisa mendatangkan segala sesuatu dalam satu jentikkan jari. Dia harus menunggu untuk memesan dan bocah ini tidak sedang dalam suasana hati ingin menunda pekerjaannya.