Sin and Silk: The Obsession Murders

Najwa Rana
Chapter #2

Bagian Satu: Satu

  Namaku Avicenna. M. Avicenna Montgomery. Kenapa? Ribet? Kau bahkan bingung bagaimana cara melafalkannya dengan benar? Tidak masalah. Namaku memang tidak praktis, silakan kutuk Paterku untuk itu. Makanya aku selalu berbaik hati dan bilang “Panggil saja ‘Vai’” sebelum lawan bicaraku tenggelam dalam kesulitannya mencerna namaku. Meski begitu, istriku tetap punya panggilannya sendiri untukku. Dan tidak! Aku tidak akan mengizinkanmu menggunakan panggilan yang dia pakai untukku. Tidak peduli seberapa sering kau akan mendengarnya nanti.

 Umurku tiga puluh satu tahun. Kau pasti tidak akan sangka kalau bertemu langsung denganku. Kebanyakan orang mengira aku mahasiswa asing yang penasaran dengan budaya Indonesia, tetapi malah nyasar ke kota yang salah. Kenapa mahasiswa? Karena aku tidak tinggal di Bali dan Wiraseta tidak begitu terkenal di kalangan wisatawan asing, tapi lumayan terkenal karena punya akademi yang bagus. Akademi untuk sekolah menengah dan menengah atas, bukan perguruan tinggi. Makanya tadi aku bilang nyasar.

 Selain masalah usia, hal lain yang biasa mengejutkan orang yang baru berkenalan denganku adalah kefasihanku. Ya, aku bisa berbahasa indonesia semulus AI versi lebih hidup. Aku pastikan kamu tak akan bisa menemukan satu knot aksen khas bule selagi aku mengobrol tentang sesuatu. How could it be? Simple! Indonesia is my mother tounge, literally. She’s Sundanesse. Sejak kecil, Pater selalu meminta semua keluarga pakai bahasa Indonesia ketika ada Ambu. Entah supaya Ambu tidak merasa kesepian atau itu cuma obsesi gila Pater terhadap bahasa asing. Aku tidak tahu. Karena aku sama sekali tidak berminat mendengar Pater mengomel berjam-jam.

 Apalagi yang bikin orang umum penasaran? Pekerjaanku? Well, I work as a freelance investigator dan aku punya kantor kecil yang nyempil antara salon dan café yang ramai. Lumayan sering bikin pelanggan bingung, makanya aku suka nongkrong di depan café sambil menunggu dan memperhatikan seseorang atau beberapa orang yang kelihatan kelimpungan di pinggir jalan sebelum kusapa. Biasanya orang suka kaget dan terkesima sebentar melihatku. Pertama karena tinggi tubuhku, kedua karena wajahku.

 Aku biasa menghadapi wajah yang bertanya-tanya “Kenapa ya dia enggak jadi model atau artis saja?” jawabannya? Karena aku tidak suka jadi bahan hiburan, terima kasih. Atau wajah yang meragukanku dengan pikiran “Memangnya orang kayak gini bisa nyamar?” padahal mencariku di tengah café saja kesusahan.

 Dan disinilah banyak orang mulai makin penasaran. Kapan lagi kan ketemu detektif swasta? Kali pertama kamu mendengar jawabanku pasti sudah terbayang di otakmu kilasan seperti percikan darah, garis polisi, mayat terbujur kaku, wajah-wajah kelabu berbalut ketegangan and other ‘Sherlock Holmes’ things. Kenyataannya? Yah, enggak sepenuhnya salah juga sih.

 Kalau bicara soal bagaimana rasanya jadi detektif aku paling cuma bisa bilang, Indeed it’s feel kinda creepy and exciting at the same time. Overall, sangat memacu adrenalin dan menggairahkan buatku kalau kasusnya benar-benar serius seperti melibatkan human trafficking dan semacamnya. Karena, detektif swasta itu seringnya bukan dapat kasus pembunuhan berantai, tapi kasus perselingkuhan atau cek kelayakan pasangan dalam bahasa yang lebih halus. Kalau bukan itu, paling antara penggelapan dana oleh karyawan atau nyari orang hilang.

 Nah, saat ini pasti makin banyak orang berkumpul dan nagih berbagai cerita soal perselingkuhan. Beberapa mungkin enggak percaya kalau detektif ternyata bisa disuruh ngurusin hal begituan. Yah, kalau menurutku pribadi memang hal seperti ini lebih baik diserahkan ke detektif biar bukti dan informasi diberikan lebih akurat buat kamu pakai ke pengadilan. Daripada kamu nyuruh teman kamu atau kamu sendiri stalking dia dengan cara yang ceroboh dan gampang ketahuan. Belum lagi kalau informasinya belum matang tapi kamu sudah kebawa perasaan dan ribut duluan, kalau ternyata salah jadi malu sendiri kan?

 Hati-hati kalau sudah seperti itu. Karena yang begitu bisa jadi bahan buat pelaku makin bohongin kamu, kasih kebenarannya dengan sedikit pelintiran sisanya tipuan. Kamu dibuat malu sendiri sementara lawanmu bisa bebas dari kecurigaan.

 Selesai bicara begitu pasti banyak perempuan makin mendekat dan mulai nanya “Memang apa sih tanda pria mulai selingkuh?” atau kalau lagi momen reflektif “Kenapa ya cowok suka selingkuh?”, padahal niat awalku cuma promosi.

 Kalau sudah begitu biasanya aku jawab dengan muka sok serius, “Ada 47 tanda orang mulai selingkuh, sayangnya kamu enggak lagi nyewa saya buat kasih kuliah umum, kan?”. Untuk pertanyaan kedua… bahkan Ima, istriku yang manis tapi suka sinis itu, ketika mendengar ceritaku pun hari ini bertanya, “Sebagai mantan playboy, menurut kamu pribadi kenapa laki-laki itu suka selingkuh?”

 Lantas matanya akan memicing sampai segaris mirip orang cina (tapi memang dia keturunan cina, sih) sambil mempertahankan senyum manisnya yang dibuat-buat, “Enggak mungkin kan, tiga tahun nikah sama aku, kamu jadi lupa alasan laki-laki enggak bisa cukup satu perempuan?” Benar-benar memenjarakanku supaya enggak lari.

 Well, in my opinion there’s only 3 reason why men cheating. Pertama, kasus Princess Diana, karena pasangannya terlalu ‘Wah!’ untuk dia yang cuma ‘yah’, akhirnya cari pelampiasan lain dimana dia bisa jadi tokoh utama dan tidak ada orang lain yang ikut kena lampu sorot di panggung yang sama.

 Kedua, kasus klasik, karena manusia suka yang awet tetapi sayangnya tidak ada yang awet di dunia ini. Jadi tidak perlu bilang perselingkuhan itu tidak masuk akal, padahal istrinya sudah menemani sejak awal bla, bla, bla. Kadang ini cuma kasus sederhana dimana yang sudah kurang layak dirasa perlu diganti, atau kebetulan ketemu yang lebih bagus tapi sulit buat memutus yang lama.

 Terakhir? Karena laki-lakimu memang bajingan, so listen to what Alice in that tea party with the Mad Hatter, ‘I think you might do something better with the time rather to answer riddle that have no answers’[1]. Just like some people’s loyalty. Alice in Wonderland banget, nih? What can I say? Sometimes you find wisdom in children books if you look closely.

 Ima cuma melirikku dari samping sambil mengoles margarin ke wajan dengan tatapan bosan. Menunggu pertanyaannya dijawab sepenuhnya. “Aku?” kataku sambil menghela napas dan menyandarkan diri ke kursi. Menatap langit-langit sembari mengingat kenangan beberapa tahun lalu. Selain mantan terakhirku sebelum menikah dengan Fatima, tidak ada yang spesial. Aku bahkan tidak ingat siapa saja dan bagaimana aku bisa berakhir kencan dengan mereka selain karena mereka cantik. Akan tetapi, pernah sih, aku atau teman kencanku disiram minuman di tengah dating. “Tapi! Aku. Tidak. Pernah. Selingkuh.” Itu kalimat pembuka sederhana yang kukatakan padanya. Namun, Ima tetap menatapku dengan pesimis.

 “Aku ini enggak termasuk alasan kasus selingkuh, “ elakku dengan santai.

“Uh-huh?”

 “Aku dulu cuma terlalu bersemangat menyambut ‘yang datang’ sampai lupa say good bye sama ‘yang pergi’” ujarku sambil menyeringai licik. Seringai yang biasanya menimbulkan rona merah muda di pipi gadis-gadis.

 Namun, ekspresi Ima justru makin sinis. She rolled her eyes like she was listening to a very bad jokes. Seakan ada awan mendung membayang di wajahnya. “Itu mah, emang kamunya aja yang bajingan,” Dengan cuek dia kembali fokus ke masakannya sambil manyun sedikit. Heh! Aku memang bajingan – aku baru akan membuka mulut untuk membela diri – tapi dalam arti dan bidang yang lain! Mendadak aku kembali mengatupkan mulutku karena meragukan argumenku sendiri. Akhirnya, aku frustasi sendiri. Tidak akan ada yang bisa menutup percakapan sebaik ini.

 Ck, memang yang biasanya mempan malah jadi tidak mempan kalau targetnya Ima, pikirku sambil menulusuri bagian belakang tubuhnya. Jas beludru berwarna sage dengan rok span hijau lumut membalut tubuhnya yang tinggi dan ramping. Penampilan yang terlalu formal untuk melakukan hal yang sangat rumahan. Sebuah kontras yang kadang entah kenapa terasa sangat memikat. Lebih kontras lagi kalau dibandingkan dengan aku yang bahkan belum mandi. Enggak heran kenapa tetangga suka mengira aku pengangguran.

 Apa gosip mereka mengusik harga diriku sebagai pria? Tidak juga, aku malah senang melihat gosip itu berkembang liar seperti api yang melahap hutan. Jadi ketika ada tetangga yang berani tanya terang-terangan padaku soal pekerjaan, aku tidak lagi menjawab kalau aku bekerja sebagai detektif. Sebaliknya aku bilang, “Iya, bu, soalnya saya suami simpanannya Fatima, jadi enggak masalah mau saya kerja atau enggak,”

 Kalau gosipnya makin hebat sampai ke telinga Ima atau Ima dengar langsung, sudah pasti si Panda Kecil itu mengamuk dan memukuliku dengan bantal sambil teriak, “Sena! Bisa enggak sih kamu berhenti nyebarin berita aneh-aneh? Aku capek tiap arisan harus klarifikasi! Dikiranya aku perempuan enggak bener yang suka pelihara gigolo internasional di rumah!” Lengkap dengan bibir manyun, pipi merah karena emosi, dan sedikit air mata di ujung netra almondnya. Gemas saja rasanya kalau melihat dia ngambek lucu begitu.

 Aku melirik ke arah jam tangan yang melingkar di tangan kiriku. Sudah tiga menit berlalu tanpa ada kata-kata yang terlontar di antara kami, menilik dari gerak tangannya kaku tapi sedikit cepat, dia pasti lagi ngambek ringan. Aku sudah hafal. Should I tease her again? A lil bit? Pikirku sembari beranjak dari kursi dan mengambil ikat rambut dari seberang meja.

 Ketika aku sudah berdiri tepat di belakangnya, kuraih rambut tebal bergelombangnya untuk kuikat dengan gaya cempol. Rambutnya panjang sepinggul dan dicat cokelat. Sebenarnya aku enggak paham bagaimana Ima mengikat dan mengatur rambutnya sedemikian rupa hingga tidak membentuk konde besar – kalau kata ima mirip punuk unta – ketika dia pakai kerudung. Setindaknya kalau diikat begini dia tidak akan merasa gerah, renungku ketika selesai mengikat rambutnya.

Lihat selengkapnya