Sin and Silk: The Obsession Murders

Najwa Rana
Chapter #4

Prelude 2

You say too late to start

Got your heart in a headlock

I don't believe any of it

You say too late to start

With your heart in a headlock

You know you're better than this

Wear a different pair, do something out of step

Throw a stranger an unexpected smile

With big intention, still posted at your station

Always on about the day it should have flied

 – Headlock, Imogen Heap

  Ketukan berirama menemani langkah si bocah menelusuri lorong berdinding kelabu di antara pilar-pilar dari peradaban angkuh yang berusaha menceritakan kejayaan masa lalu, tetapi lebih terasa seperti batu nisan dari pahlawan yang telah lama dilupakan. Cahaya putih pucat memecah dari kaca patri tanpa warna, konon diukir dari tangan seorang prajurit yang terjepit antara perang dan waktu. Tampak seperti arwah gentayangan menunggu, bukan untuk dijemput melainkan untuk ditelusuri. Di lorong itu terang dan gelap tidak beradu, tapi berdiri bersisian membawa kenangan yang usang. Seperti jiwa-jiwa yang mengantri di dunia bawah.

 Gema langkah kakinya menyiratkan kepustusasaaan untuk menyelamatkan sesuatu yang konon mustahil. Belasan pasang mata gargoyle mengawasi si bocah dengan cibiran tak terucap akan tekad si bocah. Ratusan tahun kastel ini menjadi saksi bisu atas berbagai kengerian bersejarah. Tiap jeritan masa lalu mengendap dalam rahang bergigi tajam yang berteriak tanpa suara. Tiap kekejaman dan ancaman dihimpun dalam pahatan sayap yang disusun dari kengerian cerita rakyat, jauh lebih gelap dari iblis yang diabadikan dalam naskah terlarang. Cakar mereka yang besar dan tajam merusak puncak pilar yang seharusnya melengkung indah. Sebuah kehancuran yang dikarang oleh seni, ketidaksempurnaan yang lebih rumit dari keselarasan. Selayaknya Montgomery yang memuja kehancuran sebagai seni dan estetika. Tentu saja harapan bocah menjadi lelucon konyol yang menggelikan di hadapan kastel tua ini.

 Netra hijau zamrud bocah itu menyapu gargoyle yang berbaris di sepanjang tepi plafon. Garang, mengerikan, sedikit berdebu juga lapuk, tetapi tetap sombong. Bagai veteran perang yang menolak melepaskan kenangan tragisnya. Suara kakeknya yang sarat kebanggaan mengalun rendah di sela-sela pergulatan batinnya. Berkisah tentang bagaimana mahluk-mahluk itu bertahan melewati waktu sejak abad ke-12. Rahang bergigi tajam yang terbuka lebar itu dulu mengeluarkan air hujan, menjauhi dinding kastel demi mencegah pelapukan.

 Namun, Zacharias tahu Cumbria telah melalui berbagai kengerian. Tiap serangan diluncurkan dengan cara yang lebih buruk dibanding sebelumnya. Sudah berkali-kali bangunan di Cumbria hancur, runtuh, atau tenggelam dalam lalapan api. Berkali-kali pula para aristek bersikeras untuk mempertahankan dan membangun kembali di atas puing-puing. Bertekad untuk membangun yang sama persis dalam versi yang lebih kuat, sekeras kepala itulah para leluhurnya. Kastel diperluas, dinding baru di bangun di hadapan benteng lama. Seperti seorang putra yang maju melindungi ayahnya yang renta.

 Makanya, anak laki-laki itu tidak percaya dengan dongeng para sejarawan. Setiap bangunan tua tak ubahnya tipuan yang dibalut kesombongan dan kenangan. Entah dinding, ukiran plafon, tiap pilar-pilar penyangga. Setiap jengkal, setiap inci. Lantas apa yang masih sama ketika setiap inci telah diganti kalau bukan dongeng yang diwariskan?Bahkan patung-patung berganti nama, kehilangan makna dan fungsi. Tidak ada yang abadi di dunia ini, sekeras apa pun kau memaksanya untuk tetap ada.

 Si bocah pirang tidak mempercayai kakeknya sebagaimana dia tidak percaya pada dirinya sendiri. Bagaimana kamu bisa begitu yakin jika kamu menyadari tubuhmu tak ubahnya kastel tua terus-menerus dibongkar, ditambal, dan dibangun kembali dengan batuan baru. Juga dengan desain dan cara baru supaya lebih kuat. Sampai tubuhmu kehabisan akal karena ada terlalu banyak yang hancur sehingga mustahil menyatukan kepingan-kepingan itu lagi. Saat itulah kamu menyadari kamu sudah tua dan kelelahan.

 Bagian yang paling lucu adalah kali pertama kamu bertekad untuk berubah demi jadi lebih kuat. Demi memenuhi harapan mustahil untuk jadi tak terhancurkan. Detik itulah, kau berubah. Perlahan-lahan, seperti sebagian kecil air danau yang menguap lantas digantikan air hujan. Naif sekali jika kamu percaya air hujan itu air yang sama yang sebelumnya menguap, alih-alih air laut nun jauh disana. Lebih bodoh lagi jika kau percaya, pergeseran kecil itu tidak merubah hakikat dirimu yang sebenarnya.

 Makanya dia yakin sekali, setiap hari dia percaya dirinya menjumpai kematian dan kehidupan. Seiring dengan tiap satu sel ditubuhnya berganti antara yang mati dan yang lahir. Sebagaimana langit menjumpai pagi dan siang setiap saat. Selayaknya doa yang dipanjatkannya sebelum tidur dan ketika bangun dari tidur. Bahwa atas nama dan izin Tuhannya, dia menjumpai dan bangkit dari kematian sementara.

 Dengan keyakinan kuat nan sunyi itulah si bocah melangkah dengan mantap ke kamar adik laki-lakinya. Bahwa di dunia sejak dulu tidak pernah diam. Begitu pula kastel tempat mereka bernaung, tak peduli mau sehancur apa tak satu pun orang yang berani menyebutnya ketinggalan zaman. Yang dihitung hanyalah bagaimana kastel ini bisa bertahan. Sebagaimana tiap orang juga berhak mendapat kesempatan.

 Maka di sinilah dia sekarang, di hadapan sepasang pintu besar seperti mausoleum, sementara bocah pirang itu sendiri tak ubahnya lilin mungil yang berusaha tak padam di tengah angin kesunyian. Di tangannya ada troli makanan yang seharusnya dibawa pelayan. Tetapi rumor menyebar seganas wabah hitam. Membuat orang-orang menutup jendela hati mereka secepat mencium bau busuk dan bergidik ngeri. Wajah-wajah kelabu dan lirikan ketakutan yang berkelabatan sekaan memastikan apakah mereka tengah melihat hantu yang sama? Sementara bisik-bisik menyelinap selincah tikus di loteng. Setiap hari terasa lebih mencekam dari sebelumnya. Seiring dengan pater yang semakin marah dan frustasi, menimbang antara dua pilihan berat.

 Seringkali ketika dihadapkan dengan pilihan, yang berat bukanlah memilih tetapi bernegosiasi dengan penolakan. Beban berat yang tiba-tiba datang begitu saja, karena kita harus mencari-cari alasan. Mencari argumen pendukung agar terdengar lebih masuk akal. Agar tidak terdengar begitu kejam dan egois. Atau sekadar menguatkan diri bahwa ia sanggup menanggung konsekuensi yang akan datang. Semua itu bisa saja diubah, pilihan berbalik mesko hatimu sudah menetapkan di awal. Argumen dilawan argumen dan poles pilihan yang kau inginkan, sedikit kebohongan dan utopia mungkin diperlukan. Itulah yang coba dilakukan Zach, membentuk ulang pilihannya untuk pater. Bukan demi dirinya. Demi Vai.

 Bocah pirang itu mengetuk pintu dengan keras, sekuat tenaga. Permukaannya terasa seperti batu nisan raksasa. Dingin dan menyimpan keputusasaan akan harapan untuk kembali. Tangannya memukul dengan kuat sampai buku-buku jarinya merah dan terasa perih. Sekilas, dia terlihat seperti bocah yang mengamuk menggedor-gedor pintu kamar saudaranya. Tetapi yang terdengar tak lebih dari ketukan lembut yang menelan asa. Hampir sia-sia. Wajahnya mengerut bukan karena sakit. Jadi, dia mencoba setengah berteriak, “Vai? Are you awake?

 Zacharias menempelkan telinganya ke dinding pintu, berharap mendapatkan balasan tetapi juga sedikit takut dengan pengusiran. Terdengar gumaman malas, suara yang menyeret kata seakan ogah sekali menerima dunia luar. Tapi, Zach tahu itu tandanya Vai masih di sana. Masih mau mendengar meski mengerang kesal. “you haven’t eat anything yet, I bought some brunch for you,” sambungnya.

 Lantas dia berusaha mendorong pintu. Berat. Bukan sekadar fisik, tapi seperti membongkar luka yang ingin terkubur. Engsel pintu menjerit pelan, seakan memperingatkan idak semua luka ingin dibuka. Menyingkap udara sejuk yang terasa seperti kabut yang dipadatkan oleh amarah dan waktu. Aroma kertas, buku tua, logam, dan sedikit mint menyambut indra penciumannya. Seharusnya ini dilakukan oleh pelayan, tapi mereka sudah lama menghilang seperti semua orang yang menolak terlibat. Yang ada hanya penjaga di depan pintu cuma berdiri diam seperti patung. Menolak membantu. Menolak peduli. Sudah bagus mereka tidak menghalangiku, pikir si bocah pirang.

 Langkah kaki zach bergema di atas lantai hitam yang berkilau seperti danau beku dijahit guratan emas dan perak. Tak lama berselang gema itu teredam permadani biru lengkap dengan motif peraknya yang seruwet isi kepala adiknya. Kamar itu terlampau luas untuk anak-anak, tetapi hampir tidak cukup luas untuk bocah seperti Vai. Ia seperti ditempatkan dalam museum cerminan isi pikirannya sendiri.

 Tepat di tengah-tengah ruangan ada sebuah meja besar, altar bagi seluruh ide-ide Vai yang dikorbankan supaya tidak terus berlarian dalam kepalanya. Ambu harus selalu menarik napas setiap kali menatapnya. Entah ada berapa puluh lembar kertas blue print berbagai ukuran bertebaran seperti puing reruntuha mimpi yang masih belum selesai dibangun, semuanya berserakan. Ada yang bersih, ada yang isinya coretan setengah jadi, lebih banyak lagi goresan rumit yang terlampau detail dengan anotasi berbagai bahasa yang saling tumpang tindih.

 Zacharias berhenti sejenak, matanya menyapu ke tulisan tegak bersambung. Elegan namun berdempetan. Coretan patah dengan tanda panah dan berbagai bahasa: Inggris, Latin, Prancis, Jerman… Seakan ide-ide itu berlomba-lomba untuk keluar secepat mungkin dalam bahasa apa pun yang tersedia. Tak satu pun bisa melampaui ketidaksabaran pemiliknya.

 Dia meringis pelan melihatnya. Vai selalu menulis seakan dia sedang berkejar-kejaran dengan pikirannya sendiri dalam waktu sempit. Kenangan pahit menyambarnya bak kilat petir: Adiknya yang gugup berbicara di depan tamu, melompat dari satu bahasa ke bahasa lain. Terbata, tercekat, terengah. Wajahnya bahkan memerah karena malu. Tidak ada yang terkesan dengan kekurangannya yang tidak biasa waktu itu. Yang ada hanyalah celaan berbalut kekhawatiran.

“Apa Vai gagap?”

Lihat selengkapnya