Sinar Fajar Hitam

Ganik
Chapter #1

BAB 1.1: DINDING TEBAL DI SEKELILING KITA (part 1)

Langit yang terlalu merah, temperatur yang membakar, udara yang mengikis paru-paru, serta jalan berbatu yang dibenturkan dengan kaki-kaki bus yang terlalu kaku. Semua bagian dari perjalanan yang menyenangkan jika tidak ada naga siang itu.

“Yang paling penting adalah: jangan sampai kita terlihat lebih dulu oleh naga. Entah perlakuan apa yang leluhur kita lakukan terhadap mereka, yang jelas saat ini mereka benar-benar benci manusia. Ketika melihat manusia, walaupun sekilas saja, naga akan langsung berlari menerjang. Dan mereka sangat kuat. Naga yang paling kecil saja bisa mengoyak dada manusia yang paling perkasa. Lalu mereka tidak akan memangsamu, mereka bukan pemakan daging. Mereka hanya akan memukul, mencakar, menginjak, menggigit, mencabik, lalu meninggalkan tubuhmu yang terkoyak untuk dimangsa burung bangkai. Karena itu, penting sekali, jangan sampai terlihat oleh naga.”

Pria tua itu membeberkan pengetahuannya dengan serius kepada seisi bus. Dan itu cukup untuk membelalakkan mata seorang bocah lelaki yang duduk di depannya. Sementara isi bus lainnya- pria-pria bertubuh besar dengan pakaian hitam-hitam, rompi, sepatu bot dan senapan di lengan- tampak memiliki sumbat ekstra besar di dalam kuping masing-masing. Ada yang tertidur, ada yang membersihkan senjata, ada yang sibuk mengunyah roti, ada yang hanya menatap lurus ke depan dengan tatapan yang kosong.

“Ada yang punya api?” Tanya salah seorang pria bertubuh besar yang memakai topi koboi yang duduk di bagian tengah. Tidak ada yang menjawab. Hanya pak tua yang memicingkan mata ke arahnya. Merasa tidak mendapat respon, pria bertopi itu mendekat ke arah jendela samping, lalu membuka jendela itu lebar-lebar.

“Hei! Jangan buka jendela! Kau tidak dengar apa kataku barusan?” Seru pak tua. 

Pria bertopi acuh. Ia bahkan sengaja mengeluarkan badannya sedikit ke jendela. Ia lalu berteriak ke arah mobil jip yang berjalan di samping bus mereka. “Hei, bagi api!” Kata pria bertopi sambil mengetuk jendela jip dengan senapan yang ada di genggamannya.

Mobil jip itu, seperti juga bus yang berjalan di sebelahnya, memiliki jendela dari lempengan besi yang bisa dibuka-tutup supaya isi mobil tidak terlihat dari luar - baik oleh manusia atau oleh naga. Jendela bagian depan mobil jip tidak ditutup, hanya dipalang oleh jeruji besi, yang memungkinkan sopir masih bisa melihat jalanan. Siang itu, hanya ada bus dan mobil jip itu yang berjalan berdampingan melintasi jalur di antara bukit gersang dan tebing berbatu.

“Hei, api dong!” Teriak pria bertopi sekali lagi.

Jendela besi milik mobil jip terbuka, lalu seorang berpakaian hitam-hitam melemparkan korek ke pria bertopi. Pas ke dalam tangkapan. Pria bertopi kemudian menutup jendela besi, kembali duduk di kursinya, lalu menyalakan rokok. 

Bis itu dilengkapi dengan jeruji di bagian atas yang merupakan sumber cahaya dan udara, sehingga tatapan dongkol pak tua ke pria bertopi masih bisa terlihat jelas. Pria bertopi yang sekarang sedang merokok membalas tatapan itu dengan senyuman.

Pak tua menghela nafas, lalu menoleh ke arah si bocah. “Audaz, nanti kalau kita sudah sampai kamu langsung melapor ya. Mengaku saja yang jujur. Kau memang seharusnya tidak ikut dengan kakek. Tapi jelaskan saja alasannya. Lalu apapun keputusan kontraktor penjaga gerbang, kau ikuti saja.”

“Baik, Kek.” Jawab Audaz. 

“Ini pertama dan terakhir kali kau ikut Kakek bertugas. Mau bagaimana lagi, tidak ada jalan lain.”

Lihat selengkapnya