Sinar untuk Genta

Rika Kurnia
Chapter #2

Bab Satu - Mengenal Kehidupan Seorang Sinar

Satu tahun yang lalu.

Sinar Harapan. Dua suku kata yang terlihat jelas di depan sebuah rumah sederhana, tetapi cukup luas dan asri. Di malam yang cerah ini sudah nampak dekorasi sederhana yang memenuhi setengah bagian halaman depan panti. Lampu warna-warni kecil menggantung di antara pohon besar dan menyambung ke beberapa sudut lainnya. Beberapa bangku yang sudah berbaris rapi, meja saji dengan aneka cemilan di atasnya, dan tidak lupa piano besar berwarna hitam mengkilap yang terpajang di atas panggung kecil dekat pohon. Di mana semua kursi menghadap ke arahnya.

11 Maret adalah hari ulang tahun Sinar yang ke-16. Bersama dengan kedua orang tua dan neneknya, Miranda, Sinar selalu mengadakan acara kecil-kecilan setiap tahunnya di panti. Selain itu juga ada bu Ruri, mbak Eka, dan mbak Novi yang merawat anak-anak panti selama 16 tahun ini. Ada sekitar 10 orang anak panti yang semuanya kehilangan fungsi mata mereka. Usia mereka masih anak-anak dan beranjak remaja.

Riko, anak berusia enam tahun yang sudah mengalami kebutaan sejak usianya dua tahun. Cika, gadis tujuh tahun yang menyandang tuna netra sejak lahir. Ridho, Difa, Rere, Nabila, Kia, Regal, Putri, dan Fira. Di antara mereka ada yang ditinggalkan oleh orang tuanya di rumah sakit. Ada juga yang ditemukan oleh alm.Wicaksono di jalanan. Dan sebagiannya lagi sengaja ditinggalkan begitu saja di depan panti. Meski begitu, kini mereka sudah tumbuh menjadi anak-anak yang selalu ceria dan berbakat. Walaupun mereka memiliki kekurangan, ada bakat yang hadir dalam diri mereka. Menyanyi, menggambar, mengaji, dan lainnya. Mereka adalah anak-anak istimewa yang berharga.

Acara utama pun tiba. Sinar sudah duduk di kursi piano dan memainkan musik bernada lembut. Semua orang yang mendengarkannya tampak kagum dan terharu. Memang setiap tahunnya Sinar selalu menunjukan keahliannya di acara ini. Khususnya untuk anak-anak panti yang selalu senang mendengar permainan piano Sinar.

***

Setahun berikutnya.

Sudah seperti sebuah rutinitas untuk Sinar mengunjungi panti milik alm.kakeknya ini. Selain memang Sinar menyukai ketika berada di panti, anak-anak panti itu sendiri selalu senang dengan kehadiran Sinar. Mereka menantikan permainan piano Sinar yang menenangkan.

Bertepatan ketika Sinar menekan tuts terakhir, suara tepuk tangan mulai memenuhi ruang tengah panti. Anak-anak panti itu senantiasa berdiri mengelilingi Sinar yang duduk di kursi piano. Riko terlihat berjalan hati-hati menghampiri Sinar. Semua anak di panti ini sudah hapal setiap sudut panti tanpa menggunakan tongkat pemandu. Berbeda kalau mereka sedang berada di luar area panti.

“Kak, Sinar,” panggil Riko sudah berdiri tepat di sebelah Sinar. Sementara anak-anak panti yang lain berangsur menjauh kembali ke aktivitas mereka masing-masing.

“Iya, Riko. Ada apa?” tanya Sinar sambil merangkul punggung belakang anak laki-laki berkulit putih bersih itu.

“Riko selalu bahagia saat mendengar permainan pianonya kak Sinar. Kalau udah besar, Riko juga mau seperti kakak. Bermain piano seindah ini.” Wajah Riko tampak berbinar.

“Makasih banyak ya, Riko sayang. Kalau Riko mau bisa main piano, enggak perlu nunggu Riko dewasa. Sekarang pun, juga bisa, kok.”

Lihat selengkapnya