Hanya butuh waktu kurang lebih sekitar 15 menit untuk Sinar sampai di kampusnya. Sekitar dua sampai tiga halte yang harus Sinar lewati. Ketika berhenti di salah satu halte untuk mengangkut seorang penumpang, Sinar membantu wanita tuna netra yang tampak kesulitan menaiki angkot. Dari ekspresinya, Sinar kagum dengan wanita tersebut.
Sampai di kampusnya, Sinar terperangah memperhatikan area kampusnya yang sangat besar. Banyak gedung-gedung tinggi dari berbagai jenis jurusan. Sinar merasa takjub di tempat yang akan menjadi salah satu penentu masa depannya. Banyak hal yang sudah Sinar bayangkan ketika menjadi seorang mahasiswi. Dia sangat antusias.
Sinar berjalan di sekitar parkiran kampus. Banyak mobil yang sudah terparkir rapi di sana. Tidak jauh dari situ juga ada jejeran motor dengan berbagai macam merk. Tiba-tiba saja suara decitan ban beradu dengan jalanan beraspal menjadi teriakan kencang untuk Sinar. Belum lagi bunyi klakson yang nyaring membuat Sinar tidak berkutik. Gadis itu nyaris tertabrak oleh mobil yang melintas. Sinar terkejut, tetapi dia bisa mengembuskan napas lega karena masih diberikan keselamatan.
Seorang cowok berusia sedikit lebih tua darinya keluar dari dalam mobil. Wajahnya seperti akan meledak. Dia berdiri di hadapan Sinar.
“Elo buta apa gimana, sih? Udah jelas-jelas mobil gue mau lewat, tapi elo masih jalan gitu aja.” Cowok itu geram.
Sinar tidak menjawab sepatah katapun. Dia melongo memandangi wajah cowok di depannya ini. Bahkan, mulutnya sedikit menganga.
“Elo denger gue enggak, sih? Selain buta, elo juga tuli, ya?!”
Sinar merapatkan mulutnya seraya menelan salivanya dengan kuat. “Eh, iya, Mas. Maaf, ya. Tadi saya lagi fokus liat sana-sini. Jadinya enggak tau deh, kalau mobil yang lewat. Hehe, maaf, ya.”
“Yaudah, minggir sana!”
Sinar mengangguk cepat. Lantas dia berjalan mundur agar mobil cowok itu bisa melintas. Sinar terpaku di posisinya sambil terus memperhatikan cowok itu sampai selesai memarkirkan mobilnya di salah satu sudut. Cowok itu berjalan ke arahnya.
“Ngapain elo ngeliatin gue terus?” tanya cowok itu ketus.
“Mas-nya ganteng. Mirip aktor di drama yang mama saya suka tonton,” jawab Sinar lugas. Apa lagi di akhir kalimat, dia melebarkan senyumnya sampai deretan giginya terlihat jelas.
Cowok itu hanya mendengkus geli lalu menyunggingkan senyuman sinis. Dia menelisik penampilan Sinar dari atas kepala sampai bawah kaki. “Cewek aneh,” gumamnya. Lalu berjalan begitu saja melewati Sinar. Belum sempat menyelesaikan satu langkah, Sinar menarik ujung baju cowok itu. “Eh, Mas. Tunggu-tunggu!”
Cowok itu menepis kasar tangan Sinar dari bajunya. “Apaan, sih?”