Suasana koridor kampus Universitas Pratama cukup ramai dengan aktivitas para mahasiswa yang berlalu lalang dengan kesibukan mereka masing-masing. Dari koridor utama terlihat sebuah taman kampus yang luas dan hijau dengan beberapa lampu taman dan sebuah kolam ikan kecil yang terdapat air mancur buatan. Di taman itu juga terdapat beberapa gazebo berukuran sedang yang terbuat dari kayu. Terlihat di dalamnya beberapa mahasiswa duduk bersila melingkar dan sedang asyik berdiskusi. Di sisi lainnya terdapat beberapa mahasiswa yang fokus dengan buku dan laptopnya masing-masing. Sebuah pemandangan yang tampak menyenangkan. Di sebelah koridor utama terdapat beberapa ruangan, yakni perpusatakaan, ruang administrasi, dan beberapa ruang dosen dan petinggi kampus lainnya.
Seorang mahasiswi baru terlihat mengamati dan membaca papan nama beberapa ruangan. Wajahnya mengisyaratkan kebingungan karena ini pertama kalinya dia masuk di kampus ini. Beberapa kali dia terlihat berjalan ke sana ke mari. Dalam hatinya berdoa agar ada seseorang yang menyelamatkannya dari rasa bingungnya.
Tiba-tiba, seorang gadis sebaya dengannya menepuk pundaknya, Sinar terkejut sekaligus senang karena bertemu dengan Andin, sahabatnya. Seolah Tuhan menjawab doanya saat dia merasa kebingunan. Berbeda jauh dengan penampilan Sinar, Andin mempunyai postur tinggi dari pada Sinar dengan tubuh ideal. Memiliki rambut pendek dengan warna sedikit kemerahan. Berpakaian modis mengikuti trend model kekinian. Berkulit putih bersih tidak seperti Sinar yang berkulit kuning langsat.
“Nar, elo udah sampe sini dari jam berapa?” tanya Andin.
“Enggak lama kok, Ndin. Paling sejam yang lalu.”
“Ya, ampun rajin banget,” puji Andin sambil mengacungkan jempol pada sahabatnya.
“Harus dong. Kan, biar cepet pinter. Berkat berangkat lebih awal, aku ketemu mas-mas ganteng tadi. Emang rejeki anak baik.”
“Ya, ampun, Sinar. Sekarang udah gede lo, ya. Udah tau mana yang ganteng. Elo suka ya, sama mas-mas itu?” Andin yang penasaran karena baru pertama kalinya Sinar berbicara terus tentang tentang cowok, mengira Sinar menyukai cowok tersebut.
Sinar mendesis malu-malu. “Apaan sih, Andin. Aku kan, cuma bilang Mas ganteng. Bukan berarti aku suka tau.” Bibir Sinar mengerucut sambil melotot ke arah Andin.
“Iya aja deh, gue. Oiya, elo udah ketemu gedung jurusan elo?” tanya Andin sambil merangkul sahabatnya yang merajuk. Mereka berjalan beriringan.