Langit sore tidak secerah biasanya. Semburat warna jingga di sana menjadi lebih dominan di waktu sekarang. Benda putih seperti kapas di sana juga semakin tebal menutupi warna biru yang tadinya merona. Ramainya jalanan juga membuat keadaan semakin jelas kalau akan ada tamu yang segera hadir dari atas langit.
Sinar tengah menunggu angkutan umum di halte yang tidak jauh dari gedung kampusnya. Di sekitarnya juga sudah ada beberapa orang yang menunggu seperti dirinya. Ada di antaranya orang-orang yang mengenakan pakaian formal. Sepertinya mereka karyawan perusahaan. Sedangkan yang lainnya lagi memakai seragam sekolah.
Suara petir menggelegar datang bersamaan dengan jutaan tetes air yang akhirnya tiba. Hawa dingin yang tadinya masih samar, kini semakin menelusup masuk ke sela-sela kulit. Sinar menghela napas lantaran lupa membawa payung kecil yang memang selalu ada di tasnya. Mungkin karena terlalu bersemangat pagi tadi, dia malah melupakan hal kecil yang cukup penting itu.
Di seberang jalan, tampak sebuah mobil warna hitam yang berhenti. Itu milik Genta. Cowok itu sengaja memarkirkan mobilnya di pinggir jalan saat melihat Sinar. Tanpa sadar dia memperhatikan wajah Sinar yang tidak begitu kentara. Kilasan kecil terlintas di benaknya ketika Sinar bermain piano. Genta masih jelas mendengarkan alunan musik piano di telinganya. Ujung senyum bibirnya terangkat sedikit. Namun, baru tiga detik Genta tersadar dan merutuki dirinya sendiri.
“Ngapain sih, gue di sini? Enggak penting banget,” gumamnya yang kemudian segera mengendarai mobilnya menjauh.
Cukup kuat Genta menginjak gas agar kendaraan beroda empat itu melaju kencang. Sialnya wajah Sinar yang sedang tersenyum malah tidak bisa hilang dari layar matanya. Tanpa pikir panjang lagi, cowok yang suka berbicara ketus itu membanting setir untuk putar arah. Dia berniat kembali ke tempat ‘gadis peganggu’ itu berada.
Di halte tempat Sinar tadi, sudah ada beberapa orang yang pergi dari halte. Ada yang menggunakan payung, ada juga yang memasuki mobil jemputannya. Tersisa tiga orang di halte, termasuk Sinar sendiri. Gadis yang sering dikuncir satu itu mulai gusar. Dia memegangi perutnya yang keroncongan. “Laper,” gumam Sinar sambil mencebikan bibirnya ke bawah.
Di pinggir halte, Genta memarkirkan mobilnya dan keluar menggunakan payung. Dia berjalan menghampiri Sinar di halte.
“Lho, Mas-nya ngapain di sini? Mau naik angkot juga?” Sinar menoleh ke arah mobil Genta. “Eh, tapi kan, Mas-nya pake mobil.”
“Elo mau pulang bareng gue, enggak?” tanya Genta yang membuat Sinar mengernyit lantaran tidak mendengar ucapan cowok itu. Suara hujan yang lebat benar-benar tidak mau mengalah.
“Hah? Apa, Mas?!” Sinar berteriak.
“Elo ... mau ... pulang ... bareng gue, nggak?!” Genta juga menaikan intonasi suaranya sekaligus melafalkannya lebih jelas.
“Emangnya boleh?” tanya Sinar polos.
“Buruan masuk mobil!”
Lagi-lagi gadis itu menunjukan senyum lebar yang berhasil membuat Genta sedikit kikuk.
“Makasih ya, Mas. Semoga Tuhan membalas kebaikan mas-nya.” Kalau orang lain kemungkinan besar tidak akan mau menerima tawaran dari orang yang baru dikenalnya. Berbeda dengan Sinar yang selalu berpikiran positif sehingga menganggap semua orang baik, sehingga tidak mungkin dia menolak pertolongan baik dari orang lain. Begitulah Sinar.