Suasana kamar tidur pagi itu terlihat sunyi, hanya terdengar dengkuran halus napas cowok yang sedang tertidur pulas di ranjang. Warna hijau mendominasi seluruh dinding kamar sehingga membuat nyaman penghuninya. Terdapat ranjang besar di tengah ruangan yang diapit oleh dua lemari nakas dengan lampu tidur berukuran sedang. Di sebelah ranjang terdapat lemari pakaian berwarna putih yang cukup besar. Terdapat meja belajar di depan lemari. Sofa santai yang berbentuk bola tersedia di dekat jendela kamar.
Genta, cowok itu masih tidur di ranjangnya dengan memeluk guling. Sayup-sayup terdengar di telinganya suara khas seorang gadis yang memanggil namanya. Suara itu yang mampu membuat desiran aneh merasuk dalam kalbunya. Dengan mata terpejam dia menggelengkan kepalanya, sepertinya dia sedang bermimpi. Genta dan Sinar saling bertatapan. Tanpa mereka sadari menyusup sebuah rasa yang akan membuat keadaan berubah. Seulas senyum terbit dari bibirnya. Sontak saja Genta terbangun dari tidur nyenyaknya. Sejurus kemudian Genta membuka matanya dengan lebar dan tersenyum kecil. Lalu dia segera bergegas menuju kamar mandi. Cowok itu menyambut pagi dengan senyum yang selalu mengembang di bibirnya.
Genta sudah bersiap dan rapi. Dia membawa tas ranselnya kemudian menuruni tangga dan melangkah menuju meja makan. Yoga dan Sinta, kedua orang tua Genta juga terlihat sudah berpakaian rapi. Sepertinya mereka sudah bersiap berangkat ke kantor dan saat ini sedang menyantap sarapannya di meja makan.
“Tumben pagi-pagi gini masih di rumah. Biasanya udah enggak tau ke mana,” cibir Genta sinis. Dia mengambil posisi duduk di seberang mamanya, tepat di sebelah kanan sang papa.
Mbok Ratih, pengasuh Genta sejak kecil sedang mengisi teh ke cangkir milik Yoga dan Sinta. Dia terlihat tidak nyaman saat sang majikan kecilnya menyapa kedua orang tuanya dengan cibiran. Kemudian dia bergegas kembali ke dapur yang terletak di belakang ruang makan. Dari ruang makan terlihat ruang keluarga yang cukup besar dengan beberapa deret kursi dan meja panjang yang menghiasi.
“Sayang ... kok, ngomongnya begitu sama mama papa. Enggak sopan, ah,” tegur Sinta sambil menunjukan raut wajah tidak suka. Genta diam tidak menjawab teguran mamanya. Dia mengambil setangkap roti tawar tanpa diolesi apa-apa dan langsung dilahap.
“Oiya, gimana kabar Bela di kampus?” tanya Yoga mencoba menetralisir kecanggungan yang ada.
“Baik-baik aja,” jawab Genta tak acuh tanpa menoleh papanya.
“Kamu harus selalu berbuat baik sama Bela. Suatu saat nanti kamu akan menikah dengan dia. Hanya Bela satu-satunya gadis yang tepat untuk kamu.”
“Ini jaman udah modern. Enggak ada istilah orang tua jodoh-jodohin anaknya. Genta berhak memilih jalan hidup Genta sendiri,” sanggah sang anak.
“Justru itu, karena ini jaman modern. Sebagai orang tua harus waspada memilih pasangan untuk anaknya. Jaman sekarang banyak gadis yang tidak bermoral karena maraknya pergaulan yang tidak baik. Jadi kamu harus ikutin nasehat papa dan mama.” Yoga menoleh ke arah Genta dengan tatapan mengintimidasi, sedangkan sang anak terlihat cuek tanpa memedulikan papanya.
“Ya ... ya ... ya .. Genta berangkat ke kampus dulu.” Genta pergi dari meja makan setelah menyalimi Yoga dan Sinta. Sinta masih menatapi punggung Genta yang semakin menjauh.
“Kita harus sabar, Pah, menghadapi Genta yang kaku begitu. Biarkan saja kita mengaturnya tanpa sepengatahuan dia,” ujar Sinta berpendapat.
“Iya. Itu sudah pasti.”
*****
Suasana kantin kampus pagi itu tidak begitu ramai. Hanya ada beberapa mahasiswa yang sedang menikmati makanannya. Kantin ini cukup lengkap menyediakan beraneka menu yang menjadi kegemasan pengunjungnya. Terlihat beberapa lapak penjual makanan berjejeran rapi baik kios permanen ataupun both yang menyediakan makanan ringan.