Sinar untuk Genta

Rika Kurnia
Chapter #12

Bab Sebelas - Hidup Sinar yang Berubah

Sepulang dari tempat peristirahatan Hadi, Sinar bersama Miranda dan ditemani Andin, mengunjungi kantor polisi atas dasar telepon yang sebelumnya diterima oleh Miranda kemarin. Ada beberapa hal yang mesti dijelaskan oleh pihak berwenang itu. Kini Sinar dan neneknya sudah berhadapan dengan pria bertubuh kekar dengan seragam cokelat. Sedangkan Andin berdiri di sebelah Sinar. Untuk sesaat suasana cukup tegang lantaran informasi mengenai tragedi naas tersebut harus terulang kembali.

“Karena kedua belah pihak mengalami kerugian, maka kasus ini akan kami tutup dengan pembayaran kompensasi kepada keluarga bapak Hadi,” seorang seorang polisi dengan nama ‘Rudi’ yang bertengger di dadanya.

Diam-diam Sinar mengepalkan salah satu tangannya sampai buku-buku jarinya memutih. Gadis yang sekarang bergantung pada sebuah tongkat pemandu itu, tengah menahan amarahnya agar tidak meledak.

“Sebenarnya siapa di sini yang menjadi korban dan tersangkanya? Bahkan, kami tidak dijelaskan secara rinci kejadian kecelakaannya,” ucap Miranda emosional. Meski begitu dia tetap menjaga wibawanya.

“Keduanya sama-sama korban, Bu. Dan untuk pihak yang membayar denda, meminta kami untuk merahasiakan identitas mereka.” Polisi itu juga dengan tenang menjelaskan ke wanita tua di depannya ini.

“Lho, bapak ini bercanda atau bagaimana? Kenapa bisa dirahasiakan? Cucu saya kehilangan ayahnya dan mamanya juga mengalami koma. Bagaimana mungkin kami tidak boleh tau siapa yang menyebabkan semua itu?” Miranda tidak bisa lagi membendung amarahnya.

Berkat genggaman tangan Sinar ke tangan neneknya, emosi Miranda mampu tertahan. Hanya saja mereka tidak bisa menahan genangan yang menggumpal cukup banyak di pelupuk mata. Apa lagi Sinar, gadis itu selalu menyibak air mata yang keluar terus-menerus. Andin sebagai sahabat  hanya bisa berusaha menenangkan Sinar dengan mengusap sisi bahu Sinar.

*****

Butuh beberapa minggu setelahnya sampai Sinar bisa kembali ke kampusnya. Sebelum itu dia perlu menjalani berbagai terapi agar bisa beradaptasi dengan lingkungan luar ketika kondisinya sudah tidak lagi sama seperti sebelumnya.

Siang itu Sinar baru keluar dari ruang administrasi kampus guna mengetahui metode baru yang akan dia jalani di kampusnya. Di ruang tunggu, Andin setia menemaninya.

“Gimana, Nar?” sergah Andin penasaran dengan hasil yang didapatkan Sinar.

“Aku dipindahin ke kelas khusus penyandang disabilitas, Ndin,” jawab Sinar lemas. Sejak kecelakaan yang menimpa keluarganya, sejak itu pula kehidupan Sinar berubah drastis. Senyum Sinar yang senantiasa hadir setiap saat, kini bisa dihitung dengan jari. Hidup Sinar tidak lagi secerah biasanya, tetapi sebaliknya. Gelap gulita.

“Yang bener aja? Elo normal kali. Elo kayak gini juga kan, karena kecelakaan. Bukannya karena ....”

“Udah ya, Ndin. Enggak usah dipermasalahin lagi. Aku enggak apa-apa, kok,” sela Sinar sebelum Andin sempat menyelesaikan celotehannya.

“Sekarang kita ke kantin aja, ya,” ajak Sinar yang dianggukan oleh Andin. Baru tiga langkah mereka berjalan, Niko melintas dan berhenti menghadang Sinar.

“Sinar? Kamu ke mana aja? Udah lumayan lama kamu enggak keliatan,” ujar Niko sambil memperhatikan keadaan Sinar yang tampak berbeda. Terlebih ada sebuah tongkat pemandu yang sedang Sinar genggam. Pandangan gadis itu juga mengarah entah ke mana.

“Mas Niko, ya?” tanya Sinar seraya mendengarkan suara sang empunya dengan jeli. Hanya ini yang bisa Sinar lakukan untuk mencari tahu siapa orang yang sedang mengajaknya berbicara. Setidaknya melakukan terapi beberapa hari bisa membuatnya belajar menggunakan indra pendengerannya lebih kuat.

Lihat selengkapnya