Setelah menempuh perjalanan dari rumah Genta, mobil Andin akhirnya tiba di depan gerbang rumah Miranda yang sedikit terbuka saat cahaya keemasan sang mentari perlahan beranjak menuju peraduan. Dia membukakan pintu mobil, lalu membantu Sinar untuk turun dari mobil perlahan. Andin berjalan mendahului Sinar untuk membuka lebar pintu gerbang agar Sinar bisa masuk tanpa kendala. Dia berjalan cepat menghampiri sahabatnya. Andin memegang lembut tangan Sinar, sesekali dia melihat ke arah Sinar dan tersenyum miris. Sahabatnya yang dulu periang kini sangat bergantung pada tongkat yang selalu dia bawa ke manapun ia pergi.
“Nar, elo kenapa enggak ajak nenek tinggal di rumah elo aja? Berarti rumah elo kosong dong, ya?”
“Aku lebih nyaman di rumah nenek, Ndin. Oiya, Ndin. Makasih ya, udah mau nganterin aku ke rumah Mas Genta tadi. Sebenarnya aku enggak mau bikin repot kamu terus.”
“Enggak-lah, Nar. Jangan bilang gitu ya. Sampai kapanpun elo enggak pernah ngerepotin gue. Kita akan tetap ke mana-mana bareng. Oke?”
Sinar memasang ekspresi datar. Lantas dia mengerak-gerakan tongkatnya meninggalkan Andin setelah sempat berpamitan sebelumnya. Andin terheran dengan sikap dan raut wajah sahabatnya yang tiba-tiba seperti orang marah. Andin berusaha memaklumi tingkah laku sahabatnya itu. Sinar juga tidak seceria biasanya. Gadis itu menatap Sinar iba.
*****
Suasana kampus Universitas Pratama pagi itu sudah ramai dengan aktivitas para mahasiswanya. Terlihat Sinar dan Andin sedang berjalan perlahan. Andin dengan setia selalu berada di samping Sinar. Ponsel Andin berdering, kemudian gadis itu mengangkat panggilannya. Raut wajah Andin terlihat kesal.
“Nar, gue ada kuis mendadak. Elo enggak apa-apa kan, ke ruang piano sendiri?” tanya Andin sambil memegang lengan Sinar.
“Iya, enggak apa-apa, Ndin. Aku udah hafal kok, jalan ke ruang piano,” sahut Sinar menyakinkan Andin.
“Ya udah, Nar. Gue duluan ya. Hati-hati ya, bye.” Andin meninggalkan Sinar ke arah berlawanan. Andin menatap Sinar dengan rasa cemas. Setelah kepergian Andin, Sinar kembali berjalan dengan meraba-raba jalan dengan tongkatnya. Sesekali juga bertanya ke orang yang melintas untuk lebih memastikan lagi kalau jalannya memang benar.
Terlihat Bela berjalan bersama dengan dua orang temannya kemudian menghampiri Sinar. Bela berjalan pelan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Lalu tiba-tiba dia mengambil tongkat pemandu Sinar secara paksa dan melemparnya asal. Terlebih Bela membuat Sinar tersungkur di lantai karena menyelengkat kakinya. Ketiga orang itu kemudian tertawa terbahak. Sementara Sinar meraba-raba lantai untuk mencari tongkatnya. Bela sengaja mendekatkan tongkat itu pada Sinar, saat Sinar akan mengambil tongkatnya, Bela malah menendang tongkat Sinar menjauh.
Kejadian tak ayal ini menarik perhatian beberapa mahasiswa yang kebetulan lewat di depan mereka. Kerumunan massa pun terjadi seolah mereka menonton pertunjukan gratis tanpa ada yang mau membela nasib si gadis buta.
“Ka-kalian siapa? Kenapa ngelakuin hal ini ke saya? Emangnya saya pernah bikin salah apa sama kalian?” tanya Sinar dengan amarah terpendam. Hatinya sakit saat mendapat perlakuan tidak adil seperti ini. Dia ingin menangis, tetapi berusaha keras menahannya.
Bela yang berdiri tak jauh dari Sinar semakin menertawakannya bersama dua temannya.