Seorang gadis terlihat bersandar di dinding besi sebuah halte dengan memegang tongkatnya. Suasana pagi itu begitu cerah meskipun Sinar tidak bisa menyaksikannya. Ini kali pertamanya dia berangkat ke kampus sendirian dengan menaiki angkutan umum setelah kecelakaan yang merampas penglihatannya. Kerumunan orang di sekitar halte dan hilir mudik kendaraan bus maupun angkutan umum yang datang dan pergi menjadi satu pengalaman tersendiri bagi sang gadis. Dia tidak bisa lagi melihat indahnya gedung pencakar, warna-warninya bus dan angkutan umum yang lewat, ataupun pakaian orang-orang yang berada di sekitarnya. Beberapa kali gadis itu mencoba tersenyum, menguatkan hati, dan menerima kenyataan bahwa kehidupan yang sekarang ini lah yang harus dia jalani. Kehidupan dengan semua kegelapan yang menyelimuti pandangannya. Beberapa orang melihat ke arah sang gadis dengan iba, beberapa lagi terlihat tak acuh dengan keberadaan si gadis.
Tidak lama kemudian suara kenek angkot terdengar. “Kampus … kampus … kampus Pratama.” Sinar kemudian tersenyum saat mendengar teriakan kenek angkot, dia bersiap untuk maju dengan menggerak-gerakkan tongkatnya agar bisa sampai ke depan pintu angkot. Saat sang kenek melihat gadis tunanetra seperti dirinya dengan sigap membantu Sinar masuk ke dalam angkot. “Hati-hati, Neng. Mau turun kampus ya?” tanya sang kenek.
“Iya, Bang, ini uangnya.” Sinar kemudian mengangsurkan uang yang telah dipersiapkan oleh Miranda sebelumnya.
Tiga puluh menit waktu yang ditempuh karena padatnya lalu lintas jalan. Setelah dibantu oleh kenek, Sinar turun dari angkot dan berjalan di atas trotoar depan halte bus yang berada di dekat kampus.
Suara bising kendaraan menemani langkah Sinar menuju ke kampusnya. Dia harus memantapkan hati membiasakan diri berangkat sendiri seperti sebelum kecelakaan itu terjadi. Sinar juga mulai terbiasa dengan cibiran dari beberapa orang yang ditemuinya sepanjang jalan.
“Eh, itu anak baru yang buta itu kan, ya? Kasian banget ya, emang dia nggak ada keluarga atau teman yang mau nganterin dia? Menyedihkan banget enggak, sih?” “Kok kampus ini bisa nerima mahasiswa cacat sih. Bukannya kalo buta itu harusnya disekolahkan di tempat khusus ya? Bukannya di kampus bergengsi gini.” “Gadis itu sebenarnya cantik ya, sayang aja dia buta,” ucap suara-suara yang berada di belakangnya.
Suasana tempat parkir Kampus Pratama tampak sangat ramai pada saat ini karena nanti ada jadwal perkuliahan umum yang diselenggarakan di gedung pertemuan. Suara bunyi klakson kendaraan ikut meramaikan tempat parkir ini. Beberapa mahasiwa bermotor terlihat antri untuk masuk ke dalam area parkir. Belum lagi beberapa mobil tampak berjajar urut untuk masuk ke area parkir.
Gedung perkuliahan Sinar harus melewati area parkir. Dia sebenarnya sudah terbiasa dengan keadaan ini karena Andin sering melatihnya berjalan mengenali kembali rute yang harus dia lewati dengan tongkatnya. Namun, sekarang Sinar malah berhenti di tengah jalan karena kebingungan arah gedung jurusannya. Sinar sudah berjalan dengan hati-hati, tetapi tetap saja dirinya hampir terserempet oleh mobil yang melintas di dekatnya. Sinar terkejut saat merasakan ada seseorang yang menyeret tangannya dan menyelamatkan dari musibah. Dia juga mendengar umpatan si pengendara mobil. “Eh, mata kamu enggak bisa lihat apa, jalan meleng gitu. Untung selamat,” kata pengemudi mobil yang langsung pergi begitu saja.
“Mas Genta?” gumam Sinar saat mendengar suara cowok yang membantunya tadi.
“Nar, kamu enggak apa-apa?”
“Mas Niko?”
“Iya, ini aku Niko. Kamu sendiri? Temen kamu yang kemarin mana?” tanya Niko celingukan sambil mengedarkan pandangannya mencari sosok Andin yang biasanya selalu berada di sisi Sinar.
“Aku pikir tadi Mas Genta.” Jawaban Sinar mampu membuat Niko terdiam. Dia melihat raut wajah Sinar yang terlihat sedih.