“Aku terlalu sibuk dengan dukaku. Padahal tanpa aku sadari, ada anak-anak panti yang nyatanya sudah menjalani kegelapan lebih dulu dan lebih lama dibanding aku. Selama ini pun, aku selalu memberi support ke mereka untuk terus semangat menjalani hidup ketika mereka tidak bisa melihat cahaya matahari di pagi dan sore hari. Harusnya aku bisa memberikan semangat itu untuk diriku sendiri. Aku juga harusnya berkaca pada mereka yang begitu tangguh. Terlebih lagi, aku tidak sendiri.”
Sekarang Sinar berada di panti untuk membantu anak-anak panti menyiapkan acara tahunan yang akan diselenggarakan beberapa hari lagi. Hari itu juga adalah hari ulang tahun Sinar yang ke-18. Di ruang tengah, Eka bersama beberapa anak panti yang lain sedang melipat kertas origami yang akan disatukan dengan benang hingga memanjang. Nantinya akan di pasang di langit-langit untuk hiasan sederhana dan unik. Sedangkan Novi bersama sisa anak-anak lainnya sedang membuat prakarya untuk dipajang saat acara nanti. Sementara Sinar sendiri hanya duduk di kursi piano sambil berdiam. Dia mendengar jelas gelak tawa dari anak-anak panti yang sepertinya melakukan hal menyenangkan. Dari situlah Sinar sadar kalau dia juga harus bangkit seperti mereka.
Kemudian datanglah Riko menghampiri Sinar. “Kak Sinar?” panggil Riko sambil menjulurkan tangannya mencari tahu keberadaan Sinar.
“Riko, ya? Sini, kak Sinar lagi duduk di kursi piano.”
Riko sudah berhasil sampai di sebelah Sinar. “Kak Sinar kenapa udah jarang bermain piano lagi? Padahal Riko dan anak-anak selalu nungguin permainan pianonya kak Sinar.”
Yang ditanya bungkam seribu bahasa. Seolah ada sesuatu tak kasat mata yang menamparnya begitu keras. Matanya kembali berkaca-kaca.
“Riko ... mau dengar kak Sinar main piano?” Dari nada bicaranya, Dia pun masih tampak ragu.
Anak kecil itu mengangguk senang. “Iya, Kak. Riko mau banget.”
Lantas Sinar membuka penutup piano. Pergerakannya ragu, tetapi ia tetap melanjutkan langkah selanjutnya. Sinar mulai meletakan jari-jarinya di atas tuts piano. Beberapa detik dia hanya mematung.
“Kak Sinar?”
Panggilan tersebut berhasil memancing jari Sinar menekan tuts. Dilanjutkan dengan tuts-tuts berikutnya. Alunan musik yang tidak begitu panjang bisa Sinar selesaikan. Namun, entah kenapa perasaannya tidak begitu nyaman. Hatinya pun tidak setenang biasanya ketika musik piano masuk ke telinganya.
“Maaf, Riko. Kak Sinar cuma bisa main sampai sini.” Dia berdiri dan meninggalkan Riko begitu saja. Sinar tidak ingin menangis di depan Riko.
*****
Keesokan harinya, Sinar kembali berusaha mencari keberadaan Genta bersama Andin. Dia menemui Niko yang siapa tahu sudah mendapatkan kabar mengenai Genta. Sinar tidak bisa hanya berdiam diri ketika masih ada hal yang harus diselesaikannya dengan cowok itu. Mungkin juga perasaannya yang selalu gusar akhir-akhir ini bukan hanya karena masalah penglihatannya saja, melainkan seseorang yang sudah dianggapnya penting itu menghilang tanpa jejak. Bagaimanapun caranya, selama kakinya masih bisa berjalan, Sinar harus bisa bertemu dengan Genta. Mengungkapkan perasaannya sekaligus mendapatkan inspirasinya lagi.
“Eh, Nar. Ada apa?” tanya Niko ketika melihat Sinar berdiri di depan kelasnya.
“Apa mas Niko udah tau kabarnya mas Genta?”
“Belum, Nar,” jawab Niko terdengar putus asa.
“Kalau mas Niko udah dapat kabar tentang mas Genta, saya minta tolong supaya mas Niko kasih tau ke mas Genta kalau tanggal 11 besok, ada acara tahunan di panti. Semoga mas Genta bisa datang. Dan kalau mas Niko ada waktu senggang, mas Niko juga bisa datang.” Sinar tampak tidak bersemangat. Niko sangat menyadarinya karena yang dia tahu kalau Sinar adalah gadis paling periang yang pernah ditemuinya.
“Semoga Genta dateng pas acara nanti ya. Elo jangan terlalu khawatir, Nar,” ucap Andin.
“Acara tahunan panti?” tanya Niko penasaran.