Suasana koridor Kampus Pratama pagi ini terlihat sepi, hanya tiga orang mahasiswa saja yang berjalan santai sambil membawa buku menuju taman kampus sedangkan di ujung sana terlihat tiga mahasiswi yang sedang mengobrol. Seorang gadis terlihat sedang berjalan dengan tongkatnya melewati tiga mahasiwi tadi. Mereka menatap Sinar dengan tatapan sinis dan jijik.
Kemudian salah satu mahasiswi sengaja menjulurkan kaki agar Sinar terjatuh. Tubuh gadis tuna netra itu tersungkur, tongkat pemandunya terlempar. Ketiga mahasiswi itupun menertawakan kejadian pilu tersebut. Tawa mereka terbahak-bahak seolah di depannya sedang live show adegan sirkus yang menghibur siapa saja yang melihatnya. Sinar berusaha bangkit, dia sedikit mengaduh kesakitan dan berusaha meraba-raba mencari tongkat yang entah terlempar ke mana. Lututnya tergores lantai dan ucapan menyakitkan terdengar menyapa telinga.
“Kampus elit kayak gini kok, ada mahasiswi yang buta. Mending elo jadi tukang pijit deh,” ejek gadis berbaju biru dengan rok pants di atas lulut .
“Denger-denger ini cewek juga kegenitan sama Genta anak arsitek. Enggak malu apa ya elo. Udah jelas kalo elo jauh banget dari standarnya Genta,” sahut mahasiswi lainnya.
Sinar berusaha tidak peduli dengan cacian dari mereka meski dalam lubuk hati yang terdalam dia merasa nelangsa dengan perundungan seperti ini. Entah sampai kapan dia mampu bertahan terhadap caci maki mereka yang selalu memandang sebelah mata para penyandang disabilitas seperti dirinya. Padahal Sinar juga tidak mau berada di kondisi seperti ini. Dia terus meraba-raba mencari tongkatnya. Mahasiswi berbaju biru itu menyeringai, dia berjalan mendekati Sinar kemudian dengan sengaja menginjak tangannya.
Seorang cowok bertubuh tegap datang menghampiri dan langsung menendang kaki mahasiswi tersebut. Raut wajahnya berubah geram. Genta mendekati mahasiswi itu kemudian berbisik sambil berusaha meredam amarahnya. “Gue liat elo ganggu cewek gue, jangan harap elo bisa munculin muka elo di kampus ini.” Gadis berbaju biru itu terlihat ketakutan kemudian dia segera mengajak teman-temannya pergi meninggalkan Genta dan Sinar. Tatapan mata penuh intimidasi dari membuat para perundung itu bergidik ngerti.
Setelah para pembully itu hilang dari pandangan, Genta melangkah menuju arah Sinar. Dia berjongkok dan melihat lutut Sinar yang tergores. Ada sedikit darah yang keluar dari salah satu lututnya. Genta juga memperhatikan Sinar yang berusaha untuk berdiri tetapi tidak bisa. Tanpa berpikir panjang Genta segera menggendong tubuh Sinar serta membawakan tongkatnya. Sinar terkejut sekaligus bingung saat menyadari perlakuan seorang lelaki yang tidak dikenalnya.
“Lho, kamu siapa main gendong-gendong aja. Mas Genta?”
Genta hanya diam dan terus berjalan. Lelaki itu tidak memedulikan sikap Sinar yang meronta dalam gendongannya. Genta segera bergegas ke klinik kampus yang terletak tidak jauh dari situ. Setelah sampai, Genta dibantu oleh seorang petugas KSR yang sigap menyiapkan kotak P3K. Genta meminta agar sang petugas membiarkannya merawat gadis yang dibopongnya. Setelah petugas KSR pergi, Sinar dibantu untuk duduk di tepi bangkar dengan kedua kaki menggelantung ke bawah, sedangkan Genta duduk di kursi di depan Sinar sambil mengobati luka di lutut Sinar tanpa mengucapkan satu kata apapun. Sinar terlihat bingung dan sesekali mengaduh kesakitan karena luka di lututnya sedang dibersihkan dengan alkohol.
“Kamu siapa? Kenapa kamu bantuin saya? Apa saya kenal sama kamu?” Sebenarnya Sinar ragu jika orang yang berada di depannya adalah Genta. Aroma wangi parfum yang dia hirup dari tubuh orang ini mengingatkannya kepada Genta, seseorang yang selama ini dia cari. Sementara Genta masih diam seribu bahasa, dia menempelkan plester ke lutut Sinar. Setelah selesai Genta berdiri dan menatapi wajah Sinar yang berada tepat di hadapannya.