Keesokan harinya, Sinar dan Miranda sudah ada di kamar rawat Riana. Di belakang mereka juga ada Genta yang memang sengaja ingin diperkenalkan Sinar ke mamanya. Riana sudah membuka matanya. Namun, wanita itu masih mengenakan alat oksigen yang menempel di hidungnya. Wajahnya juga masih pucat. Tidak banyak yang bisa dilakukan Riana. Dia hanya bisa menatap putrinya dengan berkaca-kaca. Apalagi ketika melihat tongkat pemandu yang berada dalam genggaman Sinar. Belum pagi arah pandang Sinar yang menurutnya aneh.
Dari situ Riana mulai tahu kalau ada yang tidak beres dari putri cantiknya. Genangan yang menggumpal di pelupuk matanya semakin banyak dan akhirnya tumpah begitu saja.
“Mah, Sinar datang.” Tangannya meraba halus ke arah wajah sang mama.
“Kamu jangan terlalu banyak pikiran, ya. Fokus saja dengan pemulihan kamu. Sinar baik-baik aja sama Ibu,” ujar Miranda mencoba menguatkan.
“Ha-di?” tanya Riana terbata. Cara bicaranya masih belum begitu sempurna setelah tidur panjang menyita waktunya.
Baik Sinar atau Miranda, tidak ada yang menjawab pertanyaan mudah Riana. Bibir mereka terkunci begitu rapat. Butuh waktu bagi keduanya untuk mengungkapkan kenyataan pahit pada Riana.
“Mah ....” Sinar mencari jemari Riana untuk ia genggam. Dia ingin mengatakan yang sebenarnya, tetapi ternyata dia belum sanggup.
“Hadi ... sudah tenang di surga. Dia tidak akan merasakan sakit di sana. Kita harus mengikhlaskannya.” Akhirnya Miranda yang mengatakan hal ini.
Air mata Riana semakin deras sampai membasahi lehernya. Hatinya hancur berkeping-keping karena pria yang teramat dicintainya harus pergi tanpa pamit. Hadi adalah cinta pertamanya dari sekian banyak pria yang pernah mengejarnya. Hanya Hadi yang berhasil menyentuh perasaan Riana yang sekeras batu.
“Mamah jangan khawatir, ya. Masih ada Sinar dan Nenek di sini. Kita akan selalu sama-sama.” Suara gadis itu bergetar. Sekuat tenaga dia sedang menahan untuk tidak menangis di depan mamanya.
Ketiganya butuh waktu untuk menenangkan diri. Sampai saatnya beberapa saat berlalu, Sinar mulai memperkenalkan Genta pada mamanya. Namun, ada sesuatu yang sangat aneh. Pertama kali Riana menatap Genta, ekspresi wajahnya langsung berubah drastis. Riana menjadi ketakutan tanpa berbicara apa-apa. Dia hanya menggelengkan kepalanya kuat-kuat dan menangis histeris.
Tentu saja hal tersebut membuat Sinar, Miranda, dan Genta menjadi bingung. Miranda mencoba menenangkan Riana. Sedangkan Genta berlari keluar memanggil perawat atau dokter. Dan Sinar sendiri hanya seperti orang linglung yang tidak tahu harus melakukan apa. Ketika dokter dan seorang perawat datang, mereka meminta semua orang keluar kamar. Kecuali Miranda yang sengaja diminta untuk menemani Riana sekaligus menjelaskan apa yang sebelumnya terjadi.
Di luar kamar inap, Sinar masih merasa heran dan bingung. Dia terus berpikir sampai tidak sadar kalau beberapa kali Genta menyebut namanya.
“Nar?” panggil Genta ke sekian kalinya. Ini pun harus dengan menaikan sedikit intonasi suaranya.
“Iya, Mas. Kenapa?”
“Elo yang kenapa? Dari tadi gue panggil ngelamun aja. Sini duduk.” Genta membantu Sinar duduk di deretan bangku yang tersedia depan kamar inap.
“Saya mikirin mama saya, Mas. Kenapa ya, sama mama saya?”
Genta bergumam. Dia sendiri juga bingung dengan situasi barusan. “Gue juga sempat kaget pas nyokap elo jadi histeris pas ngeliat gue. Padahal ini pertama kalinya kita ketemu. Gue juga enggak tau apa yang terjadi sama tante Riana. Atau mungkin dia masih trauma sama kecelakaan yang menimpa kalian waktu itu.”
“Bisa jadi, sih. Tapi kenapa ....”
“Udah, jangan terlalu di pikirin. Nyokap elo pasti baik-baik aja, kok,” sela Genta berusaha menguatkan Sinar. Dan itu berhasil. Entah kenapa perasaan Sinar menjadi lega setelah Genta mengucapkan kalimat sederhana seperti itu.