Suasana aula kampus sudah cukup ramai dengan beberapa mahasiswa/i kampus yang duduk di beberapa deretan bangku penonton. Barisan depan ada sekitar tiga dosen yang menjadi penilai untuk para peserta dari jurusan seni musik. Yang mana mereka akan menunjukan bakatnya untuk bisa mendapatkan kesempatan di acara besar tahunan kampus mendatang. Di seleksi tahap pertama Sinar kehilangan kesempatan karena kecelakaan yang menimpanya. Namun, kali ini Sinar bisa menunjukan keahliannya bermain piano.
Alunan melodi yang Sinar mainkan berhasil membuat para penonton terperangah. Mereka takjub dengan jemari Sinar yang tidak kaku dengan keadaan mata Sinar saat ini. Mereka kagum pada Sinar yang tuna netra, tetapi masih memiliki bakat aslinya. Jadi wajar jika tepuk tangan heboh menjadi penghujung ketika satu lagu berhasil Sinar selesaikan. Gadis itu tampak berbinar.
“Terimakasih untuk kalian yang mau mendengarkan permainan piano saya sampai selesai. Dan maafkan saya jika permainan piano saya tidak terlalu baik. Jujur saja, akhir-akhir ini saya sempat ingin berhenti bermain piano. Tapi akhirnya karena salah satu teman yang berharga, saya bisa menemukan inspirasi saya kembali. Semoga orang yang saya maksud ada di sini,” ucap Sinar panjang lebar. Sebelumnya dia mengambil microphone yang diletakan di atas piano.
Semua orang yang mendengarkan Sinar merasa terharu. Mereka tersenyum senang melihat semangat Sinar yang luar biasa. Sementara itu, cowok yang dimaksud Sinar datang. Genta berdiri di baris paling belakang. Sejak awal, dia sudah memperhatikan Sinar di atas panggung. Kalau biasanya Genta tersenyum, tidak dengan kali ini lantaran wajahnya memerah seperti akan menangis. Kedua tangannya juga terkepal kuat sampai buku-buku jarinya memutih. Hati Genta benar-benar patah.
*****
Sinar bersama Andin duduk di salah satu sudut kantin. Sudah dua botol air mineral yang Sinar habiskan karena rasa gugup saat bermain piano tadi masih saja terasa. Selain itu, Genta yang memang sudah dia tunggu pun tidak datang juga. Padahal Sinar sudah meyakinkan dirinya kalau kemarin dia sempat meminta Genta untuk datang ke aula kampus untuk melihatnya bermain piano.
“Ndin, ponselku belum ada telepon atau pesan dari Mas Genta, ya? Atau kamu liat enggak tadi Mas Genta di aula?” tanya Sinar tampak gusar. Sejak tadi dia sengaja meletakan ponselnya di meja.
“Belum ada, Nar. Dan gue juga enggak liat Genta di aula. Mungkin dia ada urusan dulu kali makanya telat.”
Sinar terdiam. Dia cemas karena sejak pagi tadi cowok itu tidak ada kabar sama sekali.
“Eh, itu Genta sama temen-temennya, Nar!” seru Andin pelan. Dia melihat Genta bersama ketiga temannya baru memasuki area kantin. Mereka mengambil posisi duduk di pinggir, tidak jauh dari pintu masuk.
Sinar langsung terkesiap. Ekspresi wajahnya berubah cerah. “Di mana, Ndin? Tolong anterin aku, ya.”
Andin pun menggiring Sinar ke posisi di mana Genta berada. Ada Ini Niko, Bary, dan Bela yang sudah menatap Sinar begitu sinis.
“Mas Genta baru dateng, ya? Tadi pertunjukan piano saya udah selesai. Padahal apa yang saya sampaikan tadi buat Mas Genta,” ucap Sinar dengan senyum cerianya.
“Sorry, gue sibuk,” jawab Genta ketus. Terlebih sikapnya sangat dingin. Meskipun Sinar tidak bisa melihatnya, dia cukup bisa merasakannya.