Seperti saat Genta menghilang beberapa waktu lalu, sekarang Sinar mendapati hal yang serupa seperti kala itu. Hatinya terus berubah seperti sebuah roller coaster yang tidak berpenghujung. Ada kalanya Sinar terperosot jauh ke dasar, tetapi setelahnya Sinar bisa melayang jauh nyaris menyentuh langit. Ketidakadaan Genta saat itu sudah cukup membuat harinya sepi dan kaku. Lalu Sinar bisa kembali tersenyum bahagia ketika cowok itu kembali muncul di hadapannya.
Namun, kini sepi seperti sebelumnya. Bisa dibilang bukan sekadar sepi tetapi hatinya serasa diremas begitu kuat. Ucapan kasar Genta terus terngiang di telinganya sejak semalam. Bahkan, Sinar tidak bisa terlelap dengan benar sampai pagi datang. Sama seperti saat ini, Sinar hanya bisa duduk di kursi piano tanpa ada niatan untuk bermain satu lagu pun. Mood-nya benar-benar sedang tidak karuan.
Sinar menggerakan tangannya perlahan. Dia menekan satu tuts piano dengan malas. Hanya sekali dentingan, Sinar berhenti. Kilasan beberapa waktu lalu kembali berputar di benaknya. Saat Genta masih berada di sisinya, tepat di ruang musik ini. Kehangatan cowok itu masih jelas terasa. Lagi. Sinar tidak bisa menahan air matanya untuk tidak jatuh. Cepat-cepat dia menghapus basah di pipinya.
Ada sesuatu yang Sinar rasakan. Seperti seseorang yang sedang memperhatikannya. Sinar tidak yakin apakah benar dugaannya, tetapi entah kenapa pikirannya memaksa untuk mengatakan kalau itu adalah Genta. Lantas Sinar berdiri pelan-pelan dan keluar dari ruang musik. Dia meninggalkan tongkatnya di dekat piano.
“Mas Genta?” Sinar berdiri di depan pintu. Tidak ada seorangpun yang menjawabnya. Meski begitu Sinar tetap ingin memastikan. Dia berjalan pelan dengan salah satu tangan yang terjulur ke depan. Ketika dia berbelok sedikit, ada aroma parfum yang sangat femiliar.
Benar saja karena Sinar menubruk dada Genta yang sekarang sedang berdiri persis di hadapannya. Cowok itu mematung dengan pandangan yang tidak lepas dari wajah Sinar, sejak tadi. Jarak mereka hanya sejengkal kaki.
“Ini beneran Mas Genta, kan? Pasti Mas Genta mau minta maaf soal kemarin. Saya yakin Mas Genta enggak punya niat untuk berbicara kasar ke saya. Iya, kan?”
“Cewek bodoh,” gumam Genta berbisik. Matanya memerah.
“Kalau memang Mas Genta udah tunangan, saya enggak masalah, kok. Saya cuma mau jadi temannya Mas Genta. Emangnya enggak boleh?”
“Gue enggak bisa.” Suara Genta sedikit bergetar.
“Kenapa enggak bisa? Apa karena Mas Genta malu punya teman kayak saya? Atau Mas Genta takut tunangannya Mas Genta marah karena dekat-dekat sama saya? Tolong jelasin ke saya, Mas. Saya pasti ngerti kalau Mas Genta membicarakannya baik-baik.” Sinar perlu mengatur napasnya sebentar. Matanya juga sudah memerah dan berair. “Tapi tolong jangan marah-marah kayak kemarin. Saya enggak masalah kalau itu orang lain. Jangan Mas Genta.”
Sebulir bening lolos begitu saja dari sudut mata Genta yang buru-buru dia sibak. Melasnya gadis di depannya ini sungguh meluluhlantakan perasaannya. Seolah rasa sakit yang Sinar hadapi sekarang juga menyambar di hatinya.
“Lupain gue. Hidup elo akan lebih bahagia dengan enggak adanya gue,” ucap Genta yang kemudian berbalik pergi meninggalkan Sinar begitu saja. Dia mempercepat langkahnya dan berusaha sekuat tenaga untuk tidak menoleh lagi ke posisi di mana Sinar berada.
Sedangkan Sinar, dia mematung selama beberapa detik. Suara langkah kaki Genta yang menjauh semakin menjelaskan kalau cowok itu benar-benar tidak akan kembali. Sinar menarik dirinya ke bawah. Dia berjongkok sambil menangis seorang diri.
*****
Suasana restoran yang tidak begitu ramai membuat kesan tempat menjadi lebih privasi. Dekorasi yang bernuansa hitam berpadu dengan sedikit emas memberi nuansa mewah di restoran yang hanya bisa direservasi sebelumnya ini. Dilihat dari pelanggan yang datang pun, mereka lebih banyak yang mengenakan pakaian formal dan elegan. Seperti pasangan di sudut pojok yang sedang melakukan candle light dinner. Atau beberapa orang berpakaian jas formal di sudut lain seperti sedang meeting penting.