Cahaya matahari mulai menampakan kemilaunya, terlihat Genta sudah menunggu Sinar di depan mobilnya yang terparkir di depan gerbang rumah Miranda. Satu tangannya dimasukan ke dalam saku celana sedangkan kakinya sibuk memainkan kerikil untuk sekedar mengurangi rasa gundahnya.
Terlihat Sinar berjalan tanpa semangat keluar dari pintu rumah menuju gerbang. Cowok itu menyadari dan segera menghadang jalannya Sinar. Sinar segera mengetahui siapa orang di depannya dari aroma parfum yang menyeruak dari tubuhnya. “Mas Genta?” tanya Sinar bingung dan sedikit tidak yakin.
Genta tersenyum. “Dari wanginya aja elo udah semakin tau ya, kalo ini gue. Bikin gue enggak bisa ngerjain elo aja,” jawab Genta sambil terkekeh kecil.
Raut wajah gadis itu berubah ceria seolah mendapatkan kejutan yang selama ini dinantikan. “Mas Genta ke sini untuk jemput saya? Mas Genta udah enggak marah lagi sama saya?”
“Maaf soal kemarin.”
“Kemarin emang ada apa? Saya enggak inget apa-apa, tuh. Mungkin tadi kepala saya kejedot, jadinya saya lupa sama kejadian apapun kemarin,” celetuk Sinar sambil tersenyum.
Tiba-tiba Genta memeluk tubuh Sinar erat. Tangan kanannya membelai rambut Sinar. “Maaf kalau aku terlalu egois untuk tetap ada di dekat kamu. Sebentar aja. Biarkan seperti ini dulu sebelum senyum kamu berubah jadi sebuah kebencian untuk aku yang udah menghancurkan hidup kamu.”
“Mas Genta apa, sih. Masa peluk-peluk di depan begini. Nanti kalo nenek liat kan malu,” sahut Sinar sambil berusaha melepaskan pelukan cowok itu. Di sisi lain, Sinar merasa senang karena Genta kembali untuknya.
Keduanya melerai pelukannya, Genta menuntun Sinar masuk ke dalam mobilnya. Lalu melaju membelah kemacetan jalan agar cepat sampai di kampus mereka.
*****
Terdengar alunan nada dari ruang musik siang ini. Sinar terlihat bersemangat bermain piano. Jemarinya seolah menari indah diatas tuts-tuts piano sementara Genta duduk di sampingnya sambil memperhatikan wajah Sinar yang terus tersenyum.
“Terimakasih, Tuhan. Sudah mengembalikan sinar inspirasiku,” batinnya.
Setelah selesai bermain piano, Sinar mengajak Genta menemui Riana. Lagi-lagi Riana menangis tersedu saat melihat Genta. Sinar semakin bingung dengan apa yang terjadi sementara raut wajah Genta berubah ketakutan.
Dalam pikiran wanita itu terlintas lagi kejadian kecelakaan yang membuat keluarganya seperti ini. Dia bahkan bisa melihat dengan jelas raut wajah yang penabrak sebelum dirinya jatuh pingsan karena benturan yang sangat keras. Sementara cowok itu kini diliputi rasa ketakutan dan kekhawatiran hebat. “Gue enggak bisa begini terus. Cepat atau lambat Sinar akan tahu siapa yang menyebabkan kecelakaan itu,” batin Genta.
Untungnya keadaan yang tidak mengenakkan ini tidak terlalu lama terjadi, Genta menggenggam tangan Sinar seolah ingin berpamitan dan segera mungkin meninggalkan ruang rawat inap ibunya. Sinar mengangguk, sementara Riana masih larut dalam tangisnya. Sinar pun berpamitan kepada Riana meski wanita itu tidak meresponnya.
“Mas Genta, maafin mama saya ya, mungkin sampai sekarang jiwanya belum stabil.” Genta hanya tersenyum kemudian mengacak-acak rambut Sinar lalu fokus mengendarai mobil.
“Besok gue mau ajak elo ke suatu tempat.”
“Ke mana?”