Beberapa hari ini Sinar sengaja tidak masuk kuliah. Dia mengatakan ke Andin kalau sedang tidak enak badan, sekaligus ingin bersama mamanya yang perlahan sudah semakin membaik. Namun, yang gadis itu lakukan di rumah hanyalah melamun di kamarnya. Sama seperti saat ini. Sinar tengah berdiri menghadap ke arah jendela kamarnya tanpa tahu apa yang dia lihat di luar sana. Rona ceria yang senantiasa melekat di wajah Sinar, kini sudah redup entah ke mana. Bahkan, dia sendiri tidak yakin apakah bisa menemukan kembali keceriaan itu.
“Sinar ... kita sarapan, yuk. Nenek udah nunggu di meja makan,” ujar Riana yang sudah tidak menggunakan kursi roda lagi. Dia masuk ke kamar yang pintunya setengah terbuka. Menghampiri Sinar dan berdiri di belakangnya.
Gadis itu berbalik. “Mama sama nenek sarapan duluan aja. Sinar enggak laper,” sahutnya terdengar lesu.
“Enggak laper gimana? Dari semalam kamu belum makan apa-apa. Nanti kalau kamu sakit, gimana?” Riana tampak cemas.
“Sinar enggak apa-apa, Mah. Sinar baik-baik aja.” Gadis itu mengatakan seolah untuk dirinya sendiri. Sinar berusaha menjadi kuat, meskipun kenyataannya tidak berkata demikian.
Riana hanya bisa menghela napas panjang. Dia bingung kenapa akhir-akhir ini Sinar selalu murung. Putrinya yang terbilang cerewet itu pun menjadi sangat diam dari biasanya.
“Keadaan mama sudah semakin membaik. Bagaimana kalau kita kembali ke rumah? Di sana kamu bisa bermain piano kalau lagi bosen. Sebenarnya, mama juga enggak mau merepotkan nenek kamu terus,” ucap Riana meminta pendapat yang sebenarnya sudah dia simpan sejak kemarin. Dan siapa tahu dengan mereka kembali ke rumah, bisa membuat keceriaan Sinar muncul lantaran beberapa benda kesukaannya berada di sana.
“Terserah mama aja. Sinar ikut kata mama,” balasnya tampak pasrah. Sedangkan Riana berusaha memberikan kehangatan dengan mengusap lembut sisi rambut Sinar yang terurai.
*****
Sudah hampir seminggu Sinar tidak berkuliah. Butuh banyak bujukan dari sang nenek dan mamahnya, sampai akhirnya sekarang Sinar mau kembali ke kampus. Itupun tidak banyak kelas yang dia ambil seperti sebelumnya. Sinar hanya fokus pada praktik bermain piano demi berusaha mengembalikan kebisaannya itu. Sinar tidak ingin menjadi manusia yang tidak berguna. Karena setidaknya dengan bermain piano, dia bisa membuat senang para anak di panti.
Ternyata usaha yang kuat juga tidak menjamin bagi Sinar bisa mengembalikan kelihaian permainan pianonya. Sejak tadi dia tidak bisa mengikuti interupsi dari sang dosen. Selain itu, Sinar juga sering salah nada. Dia sampai meminta dosen untuk berlatih sendirian di ruang musik. Siapa tahu Sinar bisa lebih fokus dengan begini.
Namun, yang terjadi adalah Sinar hanya bisa mematung tanpa menyentuh satu tuts pun. Dia merasa dejavu lantaran pernah ada di posisi seperti ini sebelumnya. Saat dia tidak bisa menemukan Genta dan ketika hatinya belum bisa menerima takdir gelap ini dengan ikhlas. Kini rasa sakit itu hadir berkali lipat dari sebelumnya. Hatinya hancur berkeping, seolah tidak akan bisa menyatu lagi seperti semula.
Lagi-lagi pertahanannya runtuh. Dia menangis tanpa menahannya. Terisak tanpa henti dan tidak peduli jika ada orang yang mendengarnya. Kalau perlu, Sinar akan menghabiskan seluruh air matanya detik ini juga. Dia sudah benar-benar kehilangan dua laki-laki yang dicintainya.
Tanpa Sinar tahu, sejak tadi Genta sudah berdiri di balik jendela kaca untuk memperhatikannya. Cowok itu juga sama hancurnya. Bahkan, Genta rela memberikan sisa hidupnya demi mengembalikan hidup Sinar seperti sedia kala. Menyaksikan gadisnya seperti itu sungguh menyakiti hatinya.