Genta tengah duduk di lantai teras depan rumah Miranda. Kakinya terasa lemas setelah apa yang terjadi barusan. Kebencian Riana sama sekali tidak menyakitinya karena Genta merasa pantas mendapatkannya. Dirinya sendiri pun juga sangat membencinya. Dia frustrasi. Sama seperti Sinar, Genta seolah tidak bisa melanjutkan hari-harinya.
Cowok itu berjengit kaget ketika melihat sepasang kaki yang berdiri di sebelahnya. Genta mengangkat pandangannya untuk mencari tahu siapa pemilik wajah sang empunya. Itu Miranda.
“Tangan kamu terluka. Obati dulu lukanya,” ucap Miranda seraya menyodorkan kotak obat ke arah Genta.
“Kenapa Anda melakukan ini? Padahal saya sudah menghancurkan hidupnya Sinar.” Mata Genta memerah. Memang sejak tadi.
Lantas Miranda duduk di sebelah Genta. Pasalnya sejak Genta datang sambil menggendong tubuh Sinar, meski Miranda fokus pada sang cucu, dia juga melihat goresan luka di kedua siku lengan milik Genta. Miranda yakin kalau laki-laki muda itu juga sedang kesakitan.
“Papanya Sinar adalah putra tunggal saya. Kalau ditanya marah, saya adalah orang pertama yang ingin sekali membuat kamu menderita. Tapi untuk apa?” Miranda menoleh ke wajah Genta. Dia iba melihat tatapan kosong dari anak muda itu. “Kebencian yang begitu dalam akan membuat bumerang untuk hidup saya. Termasuk Sinar. Dan saya enggak mau hal itu terjadi berlarut-larut.”
Genta menundukan wajahnya. Dia terisak tanpa suara. Dia sehancur-hancurnya.
“Sejak Sinar mengenal kamu ... Dia sangat bahagia dan lebih sering tersenyum dari biasanya. Memang, dia adalah gadis yang seperti itu. Tapi semenjak dia menceritakan satu laki-laki yang sudah membuat jantungnya berdebar, sinar di wajahnya berbeda. Lalu saat kamu pernah menghilang dari hari-harinya, sinar itu redup. Dan ketika kamu kembali, sinar itu lebih terang dari sebelumnya.” Miranda menghela napas panjang. Sedangkan Genta menutupi wajah dengan kedua tangannya, masih sambil bercucuran air mata.
“Saya tidak tahu sampai kapan sinar itu akan redup saat kenyataan pahit ini terus berlangsung. Saya tidak sanggup melihat Sinar terus menanggungnya. Maka dari itu, saya memutuskan untuk tidak membenci kamu. Karena saya tau, hal tersebut akan semakin membuat cucu saya menderita,” sambung Miranda dengan mata berkaca-kaca.
Genta semakin menundukan kepalanya. Dia tidak sanggup menatap kedua mata Miranda yang sudah renta itu. Rasa bersalahnya semakin mencuat sampai rasanya dia ingin lenyap saja dari muka bumi ini. “Maafin saya. Saya juga enggak mau hal ini terjadi.”
*****
Langit cerah berubah menjadi warna hitam pudar, dan Sinar masih saja melakukan hal sama seperti beberapa hari belakangan ini. Melamun dan termenung. Pikirannya terus memaksa Sinar untuk mengingat semua kenangan indah yang seketika berubah menjadi malapetaka. Dia tidak menyangka kalau takdirnya akan segelap ini. Menjadi seorang tuna netra saja sudah membuat setengah hidupnya pergi. Lantas bagaimana dia bisa menjalani setengah hidupnya lagi saat seseorang yang bisa membuatnya kembali hidup, justru yang sudah mengambil seluruh hidupnya.
Air mata mulai mengembang lagi di pelupuk matanya. Sinar hanya mampu mencegahnya untuk saat ini. Entah beberapa detik setelahnya. Apakah dia masih sanggup atau tidak.
“Sinar ...,” panggil sang nenek yang baru muncul dari dalam rumah. Sejak tadi Sinar memang sedang berdiri di teras depan rumah. Menghirup udara malam yang tidak bisa ia saksikan langitnya.
“Iya, Nek.”
Miranda berdiri di sebelah Sinar. Wanita tua itu mengambil salah satu tangan Sinar untuk digenggamnya. “Nenek mau tanya ... Apakah kamu sudah memilih, apa yang akan kamu lakukan untuk ke depannya?”
Gadis itu menggeleng lemas. “Enggak tau, Nek. Sinar bingung harus kayak gimana? Kenapa Tuhan terus-terusan menghukum Sinar kayak gini.” Ternyata dia tidak sekuat beberapa detik sebelumnya. Genangan yang sudah menggumpal banyak itu, akhirnya tumpah juga ke pipi.