Rutinitas Genta yang sebelumnya pun kembali. Saat dia belum bertemu dengan seorang Sinar yang mampu mengubah hari-harinya. Bahkan, kehidupannya Genta sekarang lebih buruk dari yang lalu. Membosankan dan menyedihkan. Terlebih sosok Sinar tidak pernah bisa lepas dari pikirannya. Sejujurnya Genta sangat tersiksa menghadapi takdir yang selalu tidak berpihak kepadanya.
Genta berterimakasih sudah dilahirkan oleh kedua orang tuanya. Namun, dia tidak pernah mendapatkan kasih sayang sepenuhnya dari Yoga dan Sinta. Berbeda ketika Genta mulai mengenal Sinar. Gadis itu sudah banyak memberikan kehangatan dan keceriaan yang sebelumnya tidak pernah Genta dapatkan dari kedua orang tuanya. Jadi wajar saja kalau sekarang cowok itu enggan menjalani hidupnya. Di kampus pun, Genta jarang masuk kelas. Dia hanya tidur di belakang ruang musik. Berharap bisa mendengar permainan pianonya Sinar. Akan tetapi, akhir-akhir ini dia tidak bisa menemukan gadis itu di setiap sudut kampus. Harinya semakin kosong.
Sekarang cowok itu hanya melamun di kelasnya. Suara heboh dari teman-teman sekitarnya seolah tidak bisa didengarnya sama sekali. Termasuk kedatangan Andin yang dia tidak sadari.
“Elo harus tanggungjawab!” sergah Andin yang praktis membuat orang-orang di sana menoleh dengan terkejut. Mereka berbisik-bisik tentang dugaan buruk yang Genta lakukan.
Genta tidak tersentak. Dia bersikap biasa saja, tetapi keningnya berkerut menatap Andin. Dia tidak mengerti maksud Andin sama sekali. Lantas Genta berdiri, berhadapan dengan gadis yang sekarang rambutnya sudah berubah warna. Cowok itu menoleh ke sekitar dan mendapati banyak tatapan mengintimidasi ke arahnya. Lalu dia kembali mencari wajah Andin.
“Apa maksud lo? Kalo ngomong yang jelas. Jangan bikin orang mikir yang negatif sama gue,” tanya Genta ketus.
“Elo emang udah negatif! Gara-gara elo, hidup Sinar hancur. Sekarang dia lagi ngurusin buat pengunduran dirinya dari kampus,” ungkap Andin penuh dengan emosi.
Genta terkejut mendengar hal itu. “Sekarang Sinar di mana?” Termasuk Niko yang sama terkejutnya sampai tidak bisa berkata-kata.
“Ruang Administrasi.”
Langsung saja Genta berlari dari kelasnya. Dia harus menemui Sinar dan berusaha menghalangi niatnya keluar dari kampus. Sementara Andin, mendapati orang-orang memperhatikannya merasa risi dan tidak segan memberi pelototan tajam ke mereka.
“Apa liat-liat? Penasaran sama urusan orang?” Dia juga menatap ke arah Bary dengan garang, lalu bergegas keluar dari kelas.
*****
Bertepatan Sinar keluar dari Ruang Administrasi, Genta berhasil sampai di hadapannya. Untuk seperkian detik, Genta menelisik Sinar dari atas kepala sampai ujung kaki. Dia sangat merindukan gadis dengan senyum aneh itu. Pikirannya terus berteriak untuk memeluk Sinar, tetapi hatinya juga melarang karena merasa tidak pantas untuk melakukannya.
“Batalin sekarang juga,” ucap Genta pelan, tetapi terdengar tegas.
Sinar tampak sedikit terkejut ketika Genta berada di depannya secara tiba-tiba. “Mas Genta tau dari mana kalau .... “ Sinar tidak melanjutkan pertanyaannya. Dia sudah bisa menebak kalau pasti Andin yang membuat cowok itu ada di sini.
“Gue bilang batalin,” ulang Genta dengan mata memerah. Pandangannya tidak bergeser ssdikitpun dari wajah Sinar yang redup. Tidak ada lagi rona keceriaan di sana.
“Saya udah enggak bisa main piano. Jadi untuk apa saya tetap berkuliah di sini. Percuma. Hidup saya udah berantakan. Dan itu ... karena Mas Genta.” Air mata mengembang di banyak di pelupuk mata Sinar. Bibirnya bergetar sebagai usahanya untuk menahan tangis. Dia sangat lelah menghabiskan air matanya.
Sinar hendak melangkah pergi, tetapi Genta menarik tangannya dan membawa Sinar ke arah ruang piano. Sinar terus berontak, tetapi Genta tidak melepaskan genggamannya.
“Mas Genta mau bawa saya kemana?!”