Tidak lama setelah Sinar sampai mengantar Genta ke kamar rawatnya, Miranda dan Andin datang. Satu paket buah-buahan yang sudah dihias sedemikian rupa sengaja dibawa Miranda untuk laki-laki yang sudah memberikan kebahagiaan untuk cucunya. Suasana ruang kamar yang biasanya diselimuti kesenduan, sekarang malah kebahagiaan yang lebih terasa di sana. Apalagi sinar di wajah Genta maupun Sinar yang paling mendominasi di antara semuanya. Seolah mereka sudah benar-benar melupakan masa kelam itu.
“Bagaimana keadaan kamu, Genta?” tanya Miranda dengan tatapan hangat ke empunya.
“Udah lebih baik. Makasih karena udah mau repot-repot ke sini jenguk saya,” balas Genta sopan. Hanya saja cara bicaranya masih terkesan kaku karena sikapnya pun tampak sedikit canggung.
“Panggil saya ‘Nenek’,” pinta Miranda yang melafalkan kata terakhir dengan jelas.
“Ne-nek?” sebut Genta terbata. Yang langsung dianggukan Miranda dengan senyum. Begitupun Sinar dan Andin yang berbinar dengan situasi ini.
“Bagus. Nenek senang dengarnya. Dan kamu juga enggak boleh merasa sungkan lagi. Karena kamu adalah salah satu orang yang berharga untuk Sinar.”
Genta tampak haru dengan pernyataan Miranda yang membuat perasaannya berdesir. Pun matanya berkaca-kaca. Terlebih wanita tua itu menggenggam jemarinya dengan lembut. Begitu hangat dan membuat nyaman.
“Oiya, Nar. Elo mau balik kapan? Bareng sama gue dan nenek, gimana?” tanya Andin.
“Aku nunggu mamanya Mas Genta dulu, Ndin. Nanti biar aku naik taksi yang ada di depan rumah sakit aja.”
“Hati-hati ya, Nak,” sela Miranda.
Sinar mengangguk. “Iya, Nek.” Dia bergumam. Seperti ada yang ingin ditanyakan, tetapi masih sedikit ragu. “Mamah ... gimana?”
“Kamu enggak usah terlalu mencemaskan mama kamu. Meskipun dia tampak keras di luar, tetapi mama kamu itu juga memiliki sisi hati yang sangat lembut. Dia hanya perlu waktu sedikit lebih banyak lagi. Jangan terlalu dipikirkan. Biar nenek yang urus soal itu,” ucap Miranda panjang lebar. Menatap Sinar dan Genta secara bergantian.
“Nenek lo bener, Nar. Buktinya tadi Tante Riana nitipin makanan buat elo. Dia takut elo kelaperan katanya. Tuh, gue taro di meja deket sofa,” ungkap Andin yang seketika membuat ujung bibir Sinar terangkat.
Sejak pembahasan mengenai Riana dimulai, Genta hanya diam mendengarkan. Pikirannya sedang bergelut kembali ke saat Riana mengatakan sesuatu yang menohok perasaannya. Meskipun Sinar sudah kembali padanya, entah kenapa tragedi mengerikan itu tidak bisa benar-benar hilang dari benaknya. Bayangan mengenai hilangnya sebuah nyawa dan beberapa orang yang menderita karenanya, membuat dada Genta sangat sesak. Napasnya terengah-engah dengan mata merah berair. Bersamaan dengan itu juga rasa sakit menyerang kepalanya.
“Genta elo kenapa?” tanya Andin menyadari gerak-gerik Genta yang tidak biasa. Cowok itu memegangi kepalanya dengan satu tangan.
Miranda baru menoleh ke Genta dan melihat pemuda itu meringis kesakitan. Suasana mulai tegang dan panik
“Mas Genta?” Sinar meraba keberadaan Genta. Dia berhasil menyentuh bahu Genta yang anehnya ditepis kasar oleh cowok itu.
“Nak Genta enggak apa-apa?” Miranda semakin cemas.
Dengan kedua tangannya Genta memegangi sisi kepala dengan kuat. Rasa sakit itu melebar ke mana-mana sampai dia tidak peduli dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Genta mengerang kesakitan luar biasa. Hal yang mengejutkan untuk Miranda dan Andin sekarang adalah Genta mulai kejang-kejang. Segera Andin menekan tombol bantuan guna memanggil perawat atau dokter yang sedang berjaga.