Sinar untuk Genta

Rika Kurnia
Chapter #3

Bab 2 - Kabar Gembira

Selama menjadi seorang tunanetra pasti ada saja kendalanya ketika Sinar berada di lingkungan umum. Tidak jarang Sinar mendapati kesulitan yang wajar untuk kekurangan yang ia miliki. Pernah beberapa kali Sinar tersandung ketika sedang berjalan. Atau menabrak sesuatu di depannya ketika Sinar baru pertama kali mendatangi sebuah tempat sehingga membuatnya kesulitan mengetahui letak yang aman untuk bisa dilewatinya.

Namun, Sinar sangat bersyukur karena selama menjadi gadis tunanetra, Sinar tidak pernah mengalami kejadian nyaris tertabrak kendaraan seperti tadi. Pernah sekali, tetapi kejadian itu sebelum kedua mata Sinar tidak berfungsi seperti sekarang ini.

Jadi wajar saja jika semburat ketakutan di hatinya masih belum bisa Sinar hindari meskipun kejadian tadi sudah terlewat beberapa menit lalu.

Andin yang tengah menyantap satu porsi bakso dengan lahap menghentikan aktivitas makannya sebentar ketika melirik piring somay Sinar masih utuh.

"Nar, makanannya kok nggak dimakan sih? Biasanya lo paling nggak tega sama makanan yang nggak dimakan," tanya Andin lantas menyeruput es jeruk miliknya.

Sinar tidak menjawab. Atau lebih tepatnya gadis itu tidak menyadari kalau Andin sedang bertanya padanya.

"Nar?" panggil Andin dengan intonasi suaranya yang naik sambil memperhatikan wajah Sinar dengan tegas. Barulah Sinar terkesiap akan panggilan itu. "Eh, iya? Kenapa, Ndin?"

"Lo ngelamun?"

Sinar menggeleng cepat berusaha berkelit dengan tebakan sahabatnya itu. "Nggak. Aku nggak ngelamun. Aku cuma masih sedikit kaget aja sama kejadian tadi. Seharusnya aku nggak seceroboh itu," kata Sinar sambil meraba guna mencari garpu di depannya dan mulai memakan somay miliknya.

"Yaudah, makanya lain kali kalo dateng ke tempat baru kayak gini, jangan pergi jauh-jauh dulu tanpa ada yang nemenin." Andin kembali menyantap suapan baksonya yang terakhir.

"Iya, Ndin. Aku akan lebih berhati-hati. Jadi apa kabar baik yang mau kamu kasih tau ke aku tadi?" tanya Sinar dengan wajah yang berubah menjadi riang. Bukan Sinar namanya kalo gadis itu kalah dengan perasaan murungnya. Sejauh ini Sinar bisa bertahan di kehidupannya karena dirinya sendiri yang senantiasa selalu menjadi penguat. Salah satunya dengan tersenyum dan tidak berlarut-larut dalam kesedihan.

"Bentar, bentar. Gue minum dulu." Andin meneguk es jeruknya hingga tak tersisa. Baru setelahnya cewek yang bisa disebut seperti tomboy dan terkadang feminim dalam satu waktu itu memulai ancang-ancang berbicara serius.

Sambil menyantap somay dengan hati-hati, Sinar juga mulai membuka lebar telinganya. Tidak ingin ada satu kata pun yang terlewat dari pendengarannya. Karena hanya dengan telinganya, Sinar bisa tahu apa yang disampaikan padanya.

"Jadi gini, tadi gue udah nanya ke bagian pendaftaran soal beasiswa di jurusan musik dan desainer. Gue juga jelasin kondisi lo, Nar. Emang sih, pernah ada beberapa tahun lalu mahasiswa jurusan musik yang punya kekurangan gitu. Cuma butuh melewati beberapa tahap dan itu cukup sulit," ucap Andin menjelaskan.

"Mahasiswa itu juga tunanetra kayak aku?"

Andin menggeleng. "Bukan. Sebelah kakinya lumpuh, Nar. Dia pake tongkat gitu kalo jalan. Tapi karena kemampuannya main gitar bikin para petinggi kampus takjub pada saat itu, jadinya dia bisa dapet beasiswa di jurusan musik. Malah sekarang dia udah sering konser di luar negeri. Keren banget kan."

Sinar tampak takjub dengan cerita yang dilontarkan oleh Andin. Benaknya juga tengah berkhayal kalau dirinya juga mampu seperti mahasiswa dalam cerita itu. Sinar yakin dengan dirinya sendiri.

"Kamu mau kan bantuin aku buat ngurus beasiswa itu? Aku yakin aku juga bisa kayak mahasiswa pemain gitar itu. Aku akan tampilkan yang terbaik ke para petinggi kampus agar mereka mau ngasih aku kesempatan kuliah di sini. Aku pasti bisa, Ndin," kata Sinar penuh percaya diri. Karena hanya itu yang Sinar bisa. Jika percaya diri saja sudah tidak Sinar miliki, maka Sinar tidak akan mampu hidup dalam keadannya yang sekarang.

Andin terdiam. Sebenarnya Andin yakin kalau Sinar mampu. Namun, yang membuat Andin bungkam sekarang adalah rasa ibanya pada Sinar yang teramat bahagia dengan kesempatan ini. Andin hanya tidak tahu apa jadinya jika keyakinan Sinar ini akan berbeda dari kenyataannya kelak.

"Ndin? Kok kamu diem? Kamu nggak yakin kalo aku bisa dapetin beasiswa itu, ya?"

"Gue yakin lo bisa, Nar. Dan gue juga akan bantuin apapun yang dibutuhin buat ngurus prosesnya. Gue pasti support lo selalu, Nar," jawab Andin tidak ingin menyurutkan semangat di wajah Sinar. Terlebih sekarang sahabatnya itu tengah tersenyum amat senang dengan peluang yang bisa saja mengubah hidup seorang Sinar.

Lihat selengkapnya