Aku memejamkan mata di atas dada bidang seorang pria yang hampir setiap malam menemaniku. Tidur dalam buaian hangatnya. Senyum tipis terulas di bibirku, menghidu aroma musk bercampur keringat yang aku sukai. Berharap bisa sedikit mengurangi beban pikiranku.
Telingaku menempel erat di dadanya, tepat di jantung. Mendengarkan dentumannya yang berdetak berirama. Menjadikan detakan itu lagu pengantar tidur malam ini. Apalagi dengan usapan lembut di kepala, membentuk rasa nyaman yang aku damba.
Tanganku semakin melingkar erat di pinggangnya. Mengisyaratkannya agar jangan pergi. Tetap di sini malam ini, membiarkanku tidur dalam dekapannya. Rupanya, isyaratku tidak sampai. Dia menggeser tubuh, bangkit perlahan dari posisi berbaring. Gerakannya otomatis membuatku ikut terbangun, memandanginya berbenah diri.
Mengambil kemeja dan celana katun yang berserakan di lantai. Tak lupa, memungut gaun ungu yang tadi kukenakan dan menaruhnya di sisi ranjang di sampingku. Aku hanya bisa menatap punggungnya. Tanganku melayang, membelai tiap guratan otot punggungnya tanpa menyentuh. Apa rasanya jika kusandarkan kepala di antara otot kekarnya? Nyamankah? Senyaman mendengarkan detakan jantungnya.
Dia membalikkan tubuh menghadapku. Menatapku dalam. Aku suka tatapannya. Tajam dan lembut di saat bersamaan. Mungkin tatapan itu yang telah membuatku jatuh cinta padanya.
Jatuh cinta?
Cintakah namanya, jika yang kami lakukan hanya menghabiskan malam demi mencapai kepuasan bersama? Cintakah namanya, jika hubungan kami hanya sebatas simbiosis mutualisme? Hubungan yang saling menguntungkan.
Dia membutuhkanku tak lebih hanya untuk kepuasan semata dan aku memang membutuhkannya. Membutuhkan isi dompetnya. Aku tersenyum miris dalam hati.
Dia menggeser posisi duduknya mendekatiku. Mengusap pipiku dengan lembut. Senyum terukir di bibir kecokelatannya. Bibir indah yang sanggup membuatku melayang dengan kecupannya. Membuat sebagian dari diriku menagih sentuhan panasnya.
"Terima kasih untuk malam ini." Dia mengecupku sekilas. "Aku harap, aku satu-satunya lelaki yang menemanimu." Dia kembali mengecupku. "Malam ini juga malam-malam berikutnya," ucapnya dengan bibir menjelajah wajahku.
Gerakannya terhenti oleh getar ponsel di saku celana. Dia mendesah enggan, menjauh dariku demi melihat si penelepon. Wajahnya berubah ketika menatap ponsel. Ragu, antara menerima atau mengabaikan panggilan.
"Aku harus pergi," ucapnya setelah getar ponsel menghilang tanpa mengangkatnya.
Aku mengangguk pasrah. Ingin rasanya kutarik lengannya, melucuti satu persatu pakaiannya lagi untuk kudekap kembali. Merasakan kehangatan tubuhnya yang seolah menjadi candu untukku.
Sekali lagi, dia mengecupku. Seakan tak ingin berpisah. Entah karena dia menyukai belaianku atau, mungkinkah dia memiliki rasa yang sama denganku? Entah. Namun, kemungkinan terakhir itu sangat tidak mungkin.
Dia melepaskan diri dengan enggan. Menatapku dalam sebelum akhirnya dia bangkit dan berlalu. Menghilang di balik pintu hitam di hadapanku dengan meninggalkan sejumlah uang yang dia taruh di meja.
Aku membanting tubuh. Berbaring seraya memejamkan mata menahan panasnya cairan yang hendak keluar dari sana. Aku sadar. Sesadar-sadarnya. Aku bukan siapa-siapa untuknya. Aku hanya wanita yang selalu dipandang sebelah mata. Kotor dan hina. Mana mau dia denganku. Mana pantas aku bersanding dengannya.
Air mata yang kutahan luruh juga. Merembes keluar dari celah kelopak mata, mengalir turun membasahi wajah. Kenapa rasanya sesesak ini? Padahal, bukan hanya kali ini aku menemani seorang pria. Bukan hanya kali ini aku memberikan kehangatan dengan imbalan rupiah. Namun, baru kali ini aku ‘bermain’ dengan pria dengan menggunakan perasaan. Perasaan yang tidak seharusnya ada. Perasaan yang seharusnya tidak terbentuk.
Aku ingat saat pertama kali bertemu dengannya. Di salah satu diskotik besar di Ibu Kota. Dia duduk sendiri dengan sebuah gelas berisi cairan kebiruan yang belum tersentuh. Puntung rokok memenuhi asbak yang tersimpan di samping gelas miliknya. Pakaiannya acak-acakan, pun dengan rambut yang kusut. Di sela jarinya ada rokok yang masih menyala, menyisakan setengah batang.
Dia menghisap rokok seraya memandang sekeliling. Berulang kali dia menatapku, seperti menilai. Mungkin menebak, berapa hargaku? Dari raut wajahnya, dia terlihat begitu frustrasi. Ada dua faktor yang menjadi penyebab frustrasi bagi seorang pria, wanita dan pekerjaan. Mungkin dia memiliki masalah di antaranya. Entahlah, aku tidak mau mempedulikannya. Karena aku sendiripun sedang tidak ingin diganggu.