Since You in There

Honey Dieah
Chapter #2

#2 Rumah dan Penghuni Baru

Angin malam menerpa wajah lewat celah jendela bus terakhir. Menerbangkan anak rambut yang terurai di sisi telinga. Kepalaku bersandar pada dinding bus yang dingin. Memejamkan mata, beristirahat sejenak. Lelah dengan kehidupan yang aku jalani.

Dua puluh menit kemudian, bus berhenti di perhentian terakhir. Aku turun, setelah membayar sejumlah uang sebagai tarif perjalananku. Supir bus itu terus saja menatapmu tak berkedip dengan seringai yang terkembang di sudut bibirnya.

Aku tahu apa yang ada di otaknya. Melihat seorang wanita dengan gaun setengah paha yang menggoda. Lelaki mana yang tak tergiur. Bahkan, tengah malam begini pun mata-mata jelalatan itu akan terbuka lebar demi menikmati pemandangan gratis.

"Ini Pak uangnya! Mau dibayar apa nggak, sih?" Seorang wanita berperawakan agak bulat menyadarkan si Supir dari khayalannya dengan sewot. Wanita itu memberikan uang setengah melempar, kesal dengan sikap Si Supir yang seakan tidak menggubrisnya.

Aku melanjutkan kembali perjalanan pulang dengan berjalan kaki. Rumahku tidak jauh. Tinggal berjalan lima menit memasuki gang kecil dan sampai. Aku berhenti sejenak di depan sebuah rumah sederhana berlampu kuning yang tampak hangat.

Rumah yang sudah kutinggali selama dua puluh empat tahun terakhir. Rumah di mana sebelumnya kebahagiaan tercipta di sana. Rumah tempat di mana akan ada seseorang yang menungguku pulang, menyiapkan masakan terbaik sambil bertanya apa yang aku lakukan hari ini.

Kini bangunan di depan sana hanya sekedar bangunan. Rumah tempat aku pulang dengan kepenatan. Rumah yang menjadi saksi bisu kepergian dua orang yang aku sayangi. Rumah yang beralih fungsi sebagai terminal, tempat terakhir aku melabuhkan tubuh lelahku dalam kesendirian.

Tak ada yang istimewa lagi dari kata rumah.

Ranjang single size menjadi satu-satunya tempat ternyaman yang pernah aku temui. Ranjang yang sudah lapuk termakan usia. Bukan aku tak mampu membeli ranjang baru yang lebih bagus. Bagiku, ranjang ini memiliki nilai lebih. Ranjang pertama yang aku miliki setelah bapak bekerja siang malam.

Beliau membelikanku ranjang agar aku bisa tidur dengan nyaman. Menurutnya, untuk hidup sehat syaratnya hanya satu, yaitu bisa tidur dengan nyenyak dan nyaman. Otomatis badan akan menjadi bugar dan bisa beraktifitas tanpa kendala. Dan, ya itu terbukti.

Kubaringkan tubuhku tanpa mengganti pakaian. Telentang di atas ranjang berseprei hello kitty, menatap langit-langit kamar yang mulai pudar. Warna putihnya sudah menguning dengan hiasan sarang laba-laba di sudut kamar. Berapa lama aku tidak membersihkan rumah ini? Hingga laba-laba yang bertamu terlihat betah sampai membuat sarang di pojok sana.

Kualihkan pandangan ke meja kecil di sisi kiri ranjang. Meraih bingkai foto dari bahan kayu berwarna cokelat tua. Aku memiringkan tubuh sambil mengusap foto terakhir kami sebelum bapak pergi meninggalkan dunia. Disusul oleh ibu yang tidak kuat menahan sakit yang menggerogoti tubuh rentanya tiga tahun kemudian. Tinggallah aku sendiri.

Sering terlintas dalam benakku. Apa yang akan mereka katakan jika melihatku seperti ini? Apa yang akan mereka rasakan jika hidupku tak sebahagia saat mereka masih hidup? Apalagi melihat apa yang aku jalani sekarang.

Kekecewaan terbesar pasti bapak dan ibu rasakan jika melihatku sekarang. Berkubang dalam lumpur penuh dosa dan enggan beranjak dari lumpur tersebut. Aku sudah terlalu menikmati lumpur yang membalut tubuhku. Terutama, setelah aku bertemu dengannya.

Dia menjadi satu-satunya lelaki yang menemaniku setiap malam sejak pertemuan pertama kami. Dia, satu-satunya lelaki yang sanggup membuatku luluh. Pesonanya menarikku begitu kuat. Pancaran matanya seperti menghipnotisku. Dekapannya begitu nyaman.

Mungkin, aku sudah jatuh cinta padanya. 

***

Perutku bergolak hebat pagi ini. Tepat ketika aku membuka mata rasa mual datang, mendesak isi perut untuk dikeluarkan. Hampir setengah jam aku membungkuk di toilet berusaha mengeluarkan apa pun yang ada dalam perut. Namun, nihil. Tak ada apa pun yang bisa kumuntahkan. Hanya lendir kekuningan yang membuat perutku kram.

Lihat selengkapnya