Since You in There

Honey Dieah
Chapter #3

#3 Semangkuk Bubur dan Klien

Rutinitas pagi ini masih sama. Berkutat dengan kloset demi mengeluarkan isi perut. Aku tak tahan lagi. Tenggorokanku sakit, perutku juga sakit. Rasanya tidak enak, di pagi buta seperti ini terbangun dengan desakan yang melonjak dari dalam perut.

Lelah sekali, tubuhku semakin lemas saja. Tak ada apa pun yang bisa aku keluarkan, tapi keinginan untuk muntah begitu kuat. Kepalaku berdentam saking kuatnya aku mengejan, mengeluarkan isi perut.

Aku kembali merebahkan tubuh. Memejamkan mata merasakan putaran kuat di kepalaku. Aku teringat obat anti mual yang diberikan dokter Charllene kemarin. Aku memaksakan diri untuk bangun, meraih tas selempang yang kutaruh di sisi ranjang. Mengambil satu butir dan langsung meminumnya kemudian kembali tidur.

Setelah tidur selama satu jam, perutku terasa lebih baik. Tidak ada rasa mual, hanya pusing yang masih tersisa sedikit. Mual hilang, lapar datang.

Aku menuju dapur, mencari bahan makanan dalam lemari pendingin. Lalu menutupnya kembali saat dirasa tidak selera dengan apa pun yang ada di sana. Rasanya aku ingin membeli bubur ayam saja di depan komplek.

Tanpa banyak berpikir, aku segera melangkah keluar. Mencari tukang bubur yang biasa mangkal di depan komplek. Bubur ayam sederhana dengan topping ayam suwir, kacang kedelai dan seledri siap tersaji di hadapanku. Aromanya saja membuat air liur merembes dari rongga mulut, tak sabar mencicipi bubur yang menggoda.

Tak sampai sepuluh menit, semangkuk bubur dan segelas teh tawar hangat ludes tak bersisa. Berpindah tempat memenuhi perut.

Aku tersenyum sendiri. Apa begini rasanya hamil muda? Apa ini disebut ngidam?

Entahlah. Yang jelas, aku masih mencoba peran baruku sebagai seorang wanita hamil. Semoga aku kuat menjalaninya. Bisa menjaga dia dengan sebaik mungkin. Merawatnya saat lahir ke dunia. Membesarkannya agar tumbuh menjadi anak yang membanggakan.

***

Musik Havana milik Camila Cabello versi remix mengudara. Mengisi ruangan dengan cahaya kelap-kelip. Memanjakan pengunjung diskotik untuk berjoged, menggoyangkan tubuh mengikuti irama yang diolah oleh Disk Jockey.

Aku tersenyum miris melihat seorang wanita muda yang menari di tengah kerumunan lelaki. Ingar bingar memekakan telinga seakan menjadi obat tersendiri untuk jiwa yang gundah. Mengeluarkan sisi liar di lantai dansa, menarik lawan jenis dengan goyangan pinggung yang menggoda.

Wanita muda itu tak tahu apa yang dia lakukan. Dia tak mengerti bahwa tingkah lakunya sudah membangunkan harimau yang bersemayam dalam diri para pria di sekelilingnya. Wanita muda itu hanya menyukai pujian yang dilayangkan untuknya. Semakin banyak pria semakin banyak mata yang menelanjanginya dan semakin besar pula resiko yang harus ditanggungnya.

Wanita muda itu mirip denganku beberapa tahun lalu. Haus akan tatapan menggoda lawan jenis. Menikmati tangan-tangan jahil yang mencolek bagian tubuhku. Buta dengan nafsu sesat yang menjerumuskan.

"Nggak ikut nge-dance?" Seorang pria menghampiriku. Tepatnya mengagetkanku dengan memegang kedua pundak dari belakang.

Dia Rony, anak pemilik diskotik ini. Dia yang melanjutkan mengelola tempat ini setelah ayahnya terciduk kasus narkotika.

"Nggak," jawabku singkat.

"Biasanya nggak pernah lewat. Apalagi lagu itu favorit lo."

"Males."

"Lo kosong malam ini?" tanyanya sambil memperhatikan penampilanku dari atas sampai bawah. Luar dan dalam.

"Hmm," gumamku menjawabnya sambil menyeruput lemon squash.

"Boleh dong gue make lo malam ini?" Sudah kuduga, isi otaknya hanya soal begituan. Tanpa segan aku menoyor kepalanya. Bukannya marah, dia malah tertawa keras.

"Gue mau berhenti, Ron."

"Serius, lo? Kenapa?" tanyanya dengan ekspresi terperangah.

"Capek."

"Udah ada yang nyokong hidup lo, sampai mau berhenti segala." Lagi, aku menoyor kepalanya hingga dia limbung ke samping.

"Serius, gue capek."

Lihat selengkapnya