Tampak dua orang siswi tengah memborong banyak sekali jajanan kantin. Kalau bisa, mungkin satu rak jajanan favorite mereka akan dibeli semuanya. Yup, siapa lagi kalau bukan Ana dan Amel. Di tangan mereka, saku rok, saku baju semuanya dipenuhi oleh mie lidi. Belum lagi beberapa minuman dingin yang mereka beli di kantin tadi, membuat mereka terlihat seperti dagang keliling saja.
Mereka berdua kini memilih duduk di gazebo sekolah di sekitaran taman. Setelah itu, tanpa basa basi lagi, Amel segera memakan mie lidi pedas yang ia beli tadi dengan sangat lahap. Bahkan plastik pembungkusnya sampai ia jilat-jilat dengan lahapnya juga. Coba saja plastik pembungkus itu bisa dimakan, mungkin sudah Amel makan semuanya sampai tandas.
“Pelan-pelan dong, Mel. Kayak gak makan satu abad aja lo.” Ucap Ana sambil melirik Amel sedikit ilfeel.
“Terserah gue dong. Sumpah ini enak banget. Rasanya, kriuknya, bulir-bulir pedesnya. Uuhhmm nyuaaaaanntep banget di lidah. Sssh hhhahahh.” Ujar Amel sambil mengelap-elap dahinya dengan tangannya.
“Lo cocok deh kalau jadi bintang iklan. Rakusnya, perasaan menjiwai saat makan, kelahapannya. Tercucok banget deh, Mell. Paket komplit.”
“Sayang banget tau gak, gak ada agensi yang ngelirik gue. Padahal sih kalau disuruh jadi bintang iklan mah gue mau mau aja.”
“Lo yang berusaha lah oon. Masa iya agensi ngemis-ngemis ke elo supaya mau jadi bintang iklan mereka. Kan enggak banget tuh.”
“Halu dulu gurl. Siapa tau tiba-tiba ada yang nawarin gue kan jadi bintang iklan. Udah cantek, putih, pinter ngendorse. Agensi mana juga yang bisa nolak gue. Iya gak?”
“Satu juta triliun kali tuh agensi mikir buat ngelakuin hal konyol begituan. Yang ada nanti orang-orang pada demo kalau elo doang yang kepilih. Kan yang tipe-tipe manusia kayak elo itu gak cuma elo doang kan?”
”Namanya juga ngehalu surti. Awal awal biasalah halu dulu. Urusan suksesnya belakangan aja.”
”Gila lo lama-lama. Ngehalu mulu kerjaan lo. Yang ada lo kagak maju maju kalau niatan lo mau jadi bintang iklan kalau gak di imbangi usaha diri sendiri.” Ucap Ana sambil menegak minuman dingin yang ia beli tadi.
“Iye iye. Lo kalau udah ngomel gak bisa dibantah lagi deh emang. Calon emak-emak pemarah jangan jangan lo?”
Ana menatap Amel tajam. Bisa-bisanya Amel mengatai dirinya calon emak-emak pemarah. “Gue itu peduli sama lo bege. Nanti kalau lo sakit gara-gara ngehalu mulu kan gue juga ikut repot.”
“Iya kan elo sahabat gue? Masa lo cuma ada disaat gue seneng doang? Kalau gue sakit atau susah, ya elo harus selalu ada di samping gue kan?”
“Iya maksudnya juga bukan gitu mbak surti. Kalau lo sakit, nanti lo mintak ini mintak itu kan gue jadi rempong, capek. Mana gue gak di gaji sama elo.”
“Eehh lo mau gue gaji? Sahabat karena duit?” Ucap Amel menaikkan oktaf suaranya.
”Jadi gue traktir lo di mall sana mall sini, itu kagak di gaji maksudnya?”
Ana kelabakan. Hah, sebenarnya yang calon emak-emak singa garong itu dirinya atau Amel?
“Aaahh udahlah udah. Mending kita ke kelas aja. Capek mulut gue ngoceh. Mulut gue udah capek ngunyah, ngoceh, eh malah gerak-gerak gak jelas lagi gara-gara elo.” Ucap Ana sambil menarik tangan Amel.
“Lo kira emang lo doang yang capek debat sama emak emak muda kayak lo ini?”
*****
Mister Budi mengulas senyumnya ke arah Rey dan Azka. Mereka berdua cukup baik dalam mempraktekkan percakapan sehari-hari yang mereka buat. Nilai A terpampang jelas di daftar nilainya sekarang. Rata-rata siswa 9A ini memang banyak yang mendapat nilai A meski ada beberapa yang mendapat B+.
“It’s turn, Albar and Athala.” Ucap Mister Budi memanggil nama siswa selanjutnya. “Do with your best effort, okay?”
“Of course, mister.” Timpal Albar.
Mister Budi kini membaca naskah-naskah yang telah mereka berdua buat. Hanya satu naskah dari dua naskah yang mereka buat masing-masing untuk di praktekkan di depan kelas. Dan naskah yang dipilih akan mendapat nilai tambahan sebagai imbalannya.
Albar menggigit bibir bawahnya, ia sangat berharap bahwa naskahnya lah yang akan dipilih mister. Kalian masih ingat dengan tantangan di part-part sebelumnya bukan?
Di samping Albar, Athala menghadap ke arah teman-temannya dengan penuh percaya diri. Dan ia sangat yakin bahwa naskahnya lah yang akan dipilih mister. Mana mungkin seorang Athala bisa dikalahkan oleh seorang Albar di pelajaran bahasa Inggris, pikirnya.
Mister Budi melirik Albar sekilas membuat Albar menelan salivanya susah payah. “Baik. Dari kedua naskah kalian, dua duanya sama-sama bagus. Tapi naskah Albar yang mister pilih. Tolong naskahnya dipelajari lima menit dulu di luar.”
Albar berteriak bahagia di dalam hati. Yes! Yes! Kalah juga lu, mister english kawe! Haha.
Athala mendecak kesal. Kenapa bisa naskah Albar yang dipilih mister. Sebagus apa memang itu naskah sampai di puji-puji seperti itu?
*****
Athala mendengus kasar. Ternyata naskah pilihan mister itu menurutnya sangatlah garing, berbeda sekali dengan punya miliknya yang pastinya akan terasa elegan untuk dipraktekkan.
Di sisi lain, Albar terlihat sangat berlatih menjiwai terhadap naskahnya itu. Ia mendapat peran sebagai anak, dan Athala mendapat peran sebagai Ibu. Huft, ini pasti akan seru!
“Albar, Athala. Waktu habis! Silahkan masuk!” Mister Budi mematikan timer yang telah ia buat.
Albar dan Athala masuk ke dalam kelas. Kemudian mereka mengembalikan kertas naskah milik Albar ke Mister Budi. “Well, silahkan dipraktekkan!”
Albar mengangguk. Kemudian ia memberi isyarat kepada Ina—temannya yang duduk di bangku paling depan untuk menyingkirkan peralatan belajarnya sebentar.
Setelah itu ia mulai memperagakan percakapan itu dari awal. Di naskah yang Albar sendiri buat, itu menceritakan tentang seorang anak yang sedang mencari sebuah barangnya yang hilang. Albar berakting layaknya seorang anak yang tengah mencari sebuah barang di atas nakas di samping kasurnya, tapi tidak ada. Dan akhirnya anak itu memutuskan untuk bertanya kepada ibunya.
“Mom?” Teriak anak itu (Albar) memanggil ibunya yang ceritanya tengah bersih-bersih di lantai bawah.
“Yeaaahh.” Balas ibunya (Athala) yang juga tengah berlagak layaknya tengah bersih-bersih dengan sebuah kemoceng di tangannya.
“Where’s my charger?”
Ibu dari anak itu pun membalas. “Did you look on bed side table?”
“Ye-yeaaah i looked.”
“Should be there.”