Sincerity

Sindiaasari
Chapter #8

Tujuh

Kegugupan melanda seorang pemuda yang tengah duduk di sebuah kursi tunggu antrean rumah sakit. Sendirian, tidak ada yang menemani apalagi mengantar. Perasaan was-was terlalu kentara karena kakinya yang tidak bisa diam. Matanya melirik sesekali ketika satu nama pasien disebut untuk masuk menemui dokter. Baru kali ini dia ke rumah sakit untuk memeriksakan diri sendiri, apalagi yang ia kunjungi dokter spesialis seperti ini.

Jam tangan di sebelah kiri juga selalu ia lirik setiap tiga menit sekali untuk mengecek waktu yang telah terbunuh. Ini sudah satu jam dari ia datang dan duduk disini, tetapi belum juga namanya disebutkan.

Ah apa seorang seperti dia banyak di dunia ini? Apa selama ini ia terlalu menutup diri untuk orang-orang yang nantinya seperti dia?

Decitan papan bertuliskan Psikiatri Room yang bergantung diatas pintu ruangan yang akan ia tuju menambah kegugupannya. Seorang wanita dengan baju putih bersih lengkap dengan topi suster itu keluar membawa satu map diikuti dua pasien dibelakangnya. Senyum ramah dari bibir wanita itu mengantarkan kepergian dua orang tadi.

Si pemuda tampan menundukkan pandangan selepas menyaksikan senyuman dari suster itu. Yakin bila itu bukan senyum kebahagiaan.

"Atas nama--"

Huft! Dia menghela napas pelan. Berdiri lalu berjalan menuju suster di ambang pintu itu. Sebelumnya ia sempatkan untuk berulang kali menghela napas guna menetralisisr rasa gugupnya. Tapi ternyata dengan itu pun tidak mengurangi apapun. Justru semakin langkahnya dekat dengan pintu, semakinbertambah pula gugupnya.

"Mari, Dokter Wahyu sudah menunggu." Ucap si suster itu karena si pemuda yang malah berhenti.

Pemuda itu mengangguk. Berjalan pelan mengikuti si suster sampai masuk ke ruangan khas psikiatri. Pandangan matanya tanpa bisa teralih langsung tertuju pada seorang dokter yang duduk di kursi kebesarannya. Pemuda itu mengernyit, yakin itu dokternya?

"Dok, ini riwayat pasien." Ucap si suster sembari menyerahkan map yang sedari tadi dibawanya.

"Oh iya, terimakasih." Ucap si dokter itu, kemudian tatapannya beralih ke pemuda yang masih berdiri. "Silahkan duduk."

Pemuda itu menurut. Masih gugup disertai ketidakpercayaan bahwa dokter di depannya itu benar-benar dokter. Pasalnya, selain dilihat dari paras yang masih muda, dokter itu juga kelewat santai untuk gaya seorang dokter.

"Boleh saya panggil Ka saja? Saya tidak terbiasa memanggil nama orang dengan suku kata depan. Kamu keberatan?"

Pemuda itu mengangguk mengiyakan. Tidak mempermasalahkan, toh hanya sebuah panggilan.

"Kita santai saja. Anggap saya teman kamu boleh, toh sepertinya umur kita tidak jauh berbeda." Ucap si dokter disertai senyum ramah. "Kamu sepertinya seumuran dengan adik saya."

Lagi. Pemuda itu mengernyitkan dahi. Kenapa jadi membahas umur? Dia datang kesini bukan untuk pertanyaan macam itu. Sekuat tenaga dia melawan rasa gugup demi masuk kesini dan ketika didalam mendapat pertanyaan tadi? Luar biasa. Apa semua dokter psikiatri banyak basa basi?

Lihat selengkapnya