Sincerity

Sindiaasari
Chapter #15

Empat belas

Pukul dua siang. Benar, saat jam pulang sekolah Callanya datang. Kekasihnya itu datang bersama Sandi dan ditambah Kiya yang tadi tidak termasuk dalam pengandaiannya.

"Kamu kenapa enggak masuk?"

Raka tersenyum. "Nggak papa, cuma sedikit nggak enak badan."

Calla maju mendekat. Perempuan itu menepelkan telapak tangan ke dahinya.

"Kamu kalo sakit enggak usah jalan kemana-mana. Istirahat aja." Ucap Calla sembari mendorong Raka menuju tempat tidurnya.

Aman. Sampai detik ini, tangannya masih aman dari jangkauan mata kekasihnya. Bukannya Raka tidak ingin memberi tau. Hanya saja ia tidak mau menambah kadar kekhawatiran Calla.

"Kamu udah makan?"

Raka menggeleng. Tangan kanannya ia sembunyikan lagi di dalam selimut.

Terdengar helaan napas dari bibir kekasihnya itu.

"Kamu belum makan, dan pasti kamu belum minum obat kan? Rak kamu sakit. Kalo sakit ya makan terus minum ob--" Calla berhenti bertutur. Yakin seratus persen bila Calla saat ini sudah tersadar akan ucapannya sendiri.

Raka belum makan pasti tidak punya stok bahan makanan.

Calla berdiri. "Ki, temenin aku yuk."

"Kemana?"

"Warung. San, titip Raka bentar ya."

Sandi hanya mengacungkan jempolnya.

Seperginya dua perempuan tadi, Sandi mendekati Raka. Laki-laki yang diam sepanjang pertemuan tadi tiba-tiba menyibak selimut Raka. Membuat tangan berbalut kasa yang coba Raka sembunyikan terpampang jelas.

"Kenapa?" Tanya Sandi dengan raut datar.

Raka hanya terkekeh. Nyatanya ia tak berhasil menyembunyikan tangannya pada Sandi.

"Nggak papa."

"Gue nggak butuh jawaban cewek."

Raka mendesah pelan. Percuma juga berbohong pada Sandi. Temannya itu tidak pandai dibohongi.

"Ngasih bogem kaca."

Mata Sandi sukses dibuat membelak. Raka? Berani menyakiti dirinya sebegitu?

"Lo gila?! Lo pikir bagusnya apa sampe ngelakuim hal bodoh kaya gitu?"

Raka tersenyum kecil. "Lo tau kalo berbuat kesalahan itu harus dihukum? Nah itu yang gue lakuin."

Sandi menggeleng tak paham. Kesalahan apa yang mampu membuat temannya itu menyakiti dirinya sendiri. Pasalnya Sandi tau betul bila Raka bukan tipe cowok seperti itu. "Rak, gue nggak paham sama apa yang lo omongin. Tapi yang jelas, harusnya lo tau diri. Lo disini sendirian. Kalo seandainya lo begini dan malah terjadi sesuatu yang enggak-enggak lo mau gimana? Mikir."

Raka kalah telak. Tidak hanya sindiran, tetapi Sandi sudah secara gamblang mengutarakan.

Raka melirik Sandi, kemudian tersenyum kecil. "Santai ae. Nyatanya gue nggak papa."

Sandi semakin emosi dibuatnya. Laki-laki itu serasa ingin menonjok Raka agar sadar. Tangannya yang mengepal, perlahan ia lemaskan. Tak ada gunanya beradu dengan Raka.

Tak mengucapkan sepatah kata pun Sandi melenggang. Ia memilih menghindari Raka daripada berada di sekitar laki-laki itu membuatnya jadi emosi.

Pemuda delapan belas tahun itu merogoh celana abunya untuk mengeluarkan sekotak rokok. Memang, Sandi sudah kecanduan merokok sedari kelas sebelas dulu. Mungkin sebatang rokok bisa membuat emosinya meluap melalui kepulan-kepulan asapnya nanti.

"San! Ngerokok mulu sih lo! Nggak takut mati apa?!"

Lihat selengkapnya