Saka tiba di sebuah rumah bergerbang tinggi. Rumah yang seumur hidup ia tinggali itu nyatanya tidak benar-benar rumah untuk Saka.
Mungkin terdengar sangat klise ketika Saka memaparkan bahwa ia adalah salah satu anak dari korban paksaan orang tua. Saka tau, itu semua yang terbaik--menurut kedua orang tuanya. Tetapi bagi Saka yang menjalani, semua kadang terasa berat.
Lahir ditengah-tengah keluarga dokter, Saka dituntut juga untuk meneruskan profesi keluarga besar. Laki-laki dua puluh tahun itu dipaksa menepikan seni yang selama masa sekolah tidak pernah lepas ia asah.
Bercita-cita sebagai seniman nyatanya harus ia kubur mentah-mentah. Keluarganya menentang keras ketika Saka ingin melanjutkan kuliah di bidang seni.
"Saka pulang."
Laki-laki itu lanjut masuk ketika tidak menemukan seorang pun sepanjang menuju kamarnya. "Ma--"
"Eh, udah pulang Sa."
Saka mengangguk. Lanjut dengan satu rutinitas ketika ia akan pergi dan kembali dari pergi. Menyalami orang tua.
"Tumben sampe gelap gini? Ah mending kamu mandi-mandi dulu, terus nanti turun, makan. Ya?"
Laki-laki itu mengangguk lagi. Lantas menuju kamarnya yang berada di lantai atas. Sampai di kamar, Saka tidak langsung menuruti perintah sang ibu. Laki-laki itu justru merebahkan dirinya di ranjang.
Memikir ulang bagaimana ia selalu berusaha menyembunyikan tentang ia yang masih suka melukis. Saka selalu dibayangi ketika suatu saat nanti keluarganya mengetahui. Hah, salahkah jika dia ingin mempertahankan apa yang disukainya?
Harusnya keluarganya mengerti. Saka sudah mau mengikuti jejak profesi keluarga, yah walaupun ia lebih memilih kuliah di jurusan Psikologi sih. Dengan begitu harusnya untuk sekedar hobi pun tak masalah kan. Kenapa harus ditentang keras? Apa sih yang salah dengan ngelukis?
Saka lebih memilih masuk ke Psikologi karena setidaknya kalaupun dia masih tidak ingin menjadi dokter, ia masih berpeluang untuk menjadi yang lain dengan jurusan itu. Karena kadang, bayang-bayang profesi bergelar itu membutuhkan nyali yang teramat besar. Dan untuk Saka sendiri, laki-laki itu masih merasa berat untuk menerima profesi besar macam itu.
Lagi, pameran kampus tinggal satu minggu, yang artinya siap tidak siap Saka harus bisa menunjukkan eksistensinya. Pameran pertama yang diikuti oleh laki-laki itu.
Semoga saja Asanya mampu menyihir para penikmat seni. Kalaupun tidak laku terjual, paling tidak ya lukisan itu bisa dipajang di urutan top art.
Berbicara tentang Asa, Saka jadi ingat Calla. Perempuan kecil yang ia temui di museum Affandi beberapa hari lalu. Senyum bibirnya terukir. Baru kali ini dia bertemu dengan sosok perempuan semacam Calla.
Perempuan kecil yang asik. Cepat belajar dan mampu menjadi teman untuk sekedar berbagi cerita.
"Saka?! Kok belum turun sayang." Saka tersentak dari lamunannya. Secara otomatis, lengkungan sabitnya pun pudar. Teriakan sang ibu dari lantai bawah terdengar keras sekali di kamarnya.
Gesit, laki-laki itu berjalan cepat ke kamar mandi. Tidak menyangka bila lamunannya sampai pada jam makan malam.
Setelah selesai, Saka turun menuju ruang makan. Menarik kursi samping tepat di sebelah sang ayah.
"Gimana kuliah kamu?"