Sudah setengah jam sejak bel pulang sekolah Raka terus membujuk kekasihnya. Walaupun duduk berhadiah punggung, laki-laki itu tetap terus berucap maaf.
Calla sendiri mogok bicara. Mukanya dia tekuk dengan bibir mencebik. Terus diam ketika Raka tanpa henti mengajaknya berbicara mengenai hal tadi.
"Cal, aku minta maaf." Untuk kesekian kali suara Raka ditelan hampa. Suasana kelas yang sudah kosong membuat suara Raka terdengar jelas. Tapi tetap saja tak ada balasan.
"Bilang sesuatu dong. Kamu mau disini terus?"
Calla menyingkirkan tangan Raka yang berada di pundaknya.
"Cal..."
"Dari tadi kan aku udah mau pulang, tapi kamu tahan terus."
Raka menghela napas, "iya, tapi nggak dengan kaya gini. Sini, hadap sini dulu dong."
Calla pun akhirnya manut juga. Duduk menghadap Raka tapi masih dengan muka yang cemberut. Perasaan gadis itu masih kesal sekali.
Coba bayangkan, bagaimana tidak kesal bila cowok kamu gandeng cewek lain padahal juga lagi gandeng kamu? Dan itu terjadi istirahat tadi. Calla sudah membiarkan ketika seperempat jalan, tetapi ketika sampai kantin pun tangan adik kelasnya tak kunjung juga dilepas Raka. Si adik kelas juga. Tau ada pacarnya, malah senyum-senyum girang digandeng Raka. Dan yang paling mengesalkan, Raka bilang dia tidak sadar menggandeng adik kelas itu!
Bagaimana Calla tidak kesal?
"Senyumnya mana? Masa gini terus? Aku kan udah minta maaf."
Pandangan Calla yang lurus ke bawah membuat matanya lagi-lagi menemukan suatu hal yang belakangan ini kerap ia lihat. Buku-buku jari Raka kembali luka. Dan Calla tau kalau luka itu bukan luka yang Raka bilang hasil dari bermain karate dengan Sandi. Pasalnya luka itu masih cenderung basah seperti baru.
Kamu kenapa lagi sih, Rak?
Calla mengela napas. Perempuan itu mengangkat pandangannya. Mempertemukan dua pasang mata yang biasanya saling memandang itu. "Tangan kamu kenapa lagi?"
Si lawan bicara Calla tersentak. Dia buru-buru menarik tangannya yang dipegang Calla. "Ah, ini--" Raka kembali gagap. Kebingungan lagi mau mencari alasan apalagi. "Ah, ini yang kemarin itu tapi kebetulan tadi kepentok jadi basah lagi deh."
Berulang kali Raka membasahi bibir lalu menelan ludah guna mengurangi degupan jantungnya yang kian kencang. Laki-laki itu berusaha menarik bibir membentuk senyum canggung. Kemudian kembali mengulang permintaan maaf guna mengalihkan pembicaraan.
Helaan napas Calla terdengar kembali. Perempuan itu merasa, memang ada sesuatu yang berusaha disembunyikan. Kegelisahan Raka sudah cukup membuat Calla paham. "Nggak logis kalo kamu bilang nggak sadar, Rak."
Bungkam sudah bibir Raka. Sepertinya ia salah memberi penjelasan. Jika dipikir, kata 'nggak sadar' justru kian menambah kadar kekesalan Callanya.
Ya jelas.
Lagi pula, kenapa juga Kiya yang tadi dibelakangnya enggak ngasih tau. Kan jadi gini. Ditambah lagi perempuan cerewet itu langsung kabur ketika bel pulang berbunyi.
"Yaudah ya, aku minta maaf. Nggak gitu lagi."
"Ya nggak boleh lah."
"Iya, enggak. Jadi gimana, dimaafin?"
Dak!
Suara tendangan di pintu mengintrupsi sepasang kekasih itu untuk menengok. Disana, ada Sandi dengan seragam kebanggaannya. "Pulang, pacaran mulu."
Mendengar itu Calla langsung bangkit. Meninggalkan Raka secepat kilat untuk keluar kelas.
Raka sendiri tak kalas gesit. Belum sampai kekasihnya sampai di pintu kelas, sudah lebih dulu dia menangkapnya. "Jawab dulu dong."
Sandi memantulkan bola basketnya dengan keras. Merasa dongkol ketika keberadaannya tidak dihiraukan. Laki-laki itu langsung berlalu. "Pacaran teros!"