Calla tiba dirumah dengan simbahan air mata. Lajuan air itu tak berhenti mengalir seharian ini.
Mencari kunci rumah dengan tidak sabar, Calla sampai beberapa kali membuat keributan. Segala benda dia geser padahal sebenarnya dia sangat tau kunci itu berada di pot gantung dekat kursi.
Ya, pikiran perempuan itu sedang keruh sekali. Dia ingin segera masuk dan membenamkan diri di balik selimut kamarnya.
Butuh waktu sepuluh menit untuk Calla bisa sampai di kamarnya. Karena berjalan pun Calla harus berpegangangan. Tubuhnya lemas sekali.
Setibanya di kamar, mata perempuan itu langsung tertuju dimana potret Raka bersama dirinya yang ia pajang di nakas. Dengan lunglai, dia pun berjalan ke arah sana. Mengambilnya lalu membuang ke sudut kamar tak kurang dari seperkian detik.
Suara pecahan kaca pada pigura itu mengisi seisi kamar. Suaranya nyaring. Membuat Calla kian merasakan sakit.
"Kamu jahat, Rak! Kamu jahat!" Bukan rasa marah yang tengah Calla alami saat ini. Yang ada hanyalah sebuah kekecewaan besar yang sangat mendominasi.
Calla luruh ditempatnya. Duduk di lantai dengan tubuh menyender ranjang. Calla sudah tidak ingin lagi membenamkan diri di selimut seperti pikirannya ketika diluar tadi. Nyatanya posisi semacam ini lebih menyamankan.
Pecahan pigura di sudut kamar. Calla semakin terisak ditempatnya. Menyaksikan bagaimana pigura itu hancur sama seperti hubungannya dengan Raka membuat Calla semakin dirundung kesakitan. Hatinya nyeri sekali. Disatu sisi, dia masih sangat mencintai Raka. Keputusannya mengenai deklarasi putus tadi benar-benar tidak ada dalam pikirannya sedikitpun. Membayangkan pun Calla tidak pernah. Tapi di sisi lain, Calla tidak bisa bila terus disamping Raka. Calla tidak mau terus disakiti semacam ini. Entah apa jadinya ia bila tidak ada Raka lagi dihidupnya, Calla bahkan tidak bisa membayangkan.
Air mata Calla terus berjatuhan. Dalam posisi sekarang, kenang-kenang bahagia mereka justru berputar di ingatan Calla. Hilir mudik dengan jelas seolah memaksa perempuan itu untuk tetap berada dalam kesakitan.
"Aku salah apa sama kamu Rak...."
"Kenapa kamu jadi kaya gini sama aku?"
Sudah setengah jam Calla berada di posisinya. Walaupun punggungnya sudah sakit karena terus beradu dengan ranjang kayu, tapi Calla tidak mau beranjak seinchi pun.
Ia hanya mengubah posisinya hingga menyamping di sebelah kiri. Mendongakkan pandangan sampai menemukam sang papa disana. "Pa, papa pasti tau gimana keadaan Calla saat ini. Papa paham kan?"
"Papa nggak marah sama keputusan Calla kan?"
"Calla sakit pa... Raka nyakitin Calla."
Persis seperti seorang putri yang tengah mengadu pada sang ayah, Calla terus bermonolong. Komunikasi satu arah ini bahkan begitu Calla agungkan. Karena cuma ini yang bisa ia lakukan.