Calla dan Saka masih diam ditempatnya. Seusai mendengar perkataan dari Saka, Calla menjadi tak enak hati. Secara tak langsung kalimat Saka itu berusaha memancing Calla. Seperkian detik kemudian Saka tertawa. Tawanya besar mengundang tatapan orang sekitar.
"Serius banget kamu nanggepinnya. Saya bercanda Cal."
Mendengar itu Calla refleks menjatuhkan rahang. Memicing sebal ke arah pemuda tampan itu. "Nggak lucu kak. Aku kira kakak marah tau."
"Ngapain saya marah? Saya malah bersyukur kamu mau temani saya datang kesini."
"Maaf ya kak."
Saka merasa bersalah mendengar suara Calla yang selemah ini. Padahal dia hanya bercanda. Pemuda ini hanya ingin tau apa yang membuat Calla bisa begitu yakin Asanya berada di urutan atas.
Tak ingin melarutkan aksi ini Saka pun membawa tangan Calla untuk digenggamnya. "Boleh seperti ini?"
"K-kenapa?"
Saka menggeret pelan. Membawa Calla untuk kembali melanjutkan langkah. Di depan sana ada satu lukisan --top art ke delapan-- kemudian berbelok.
"Biar kamu nggak kabur saya gelitikin ketika Asa nggak ada di barisan ini."
Calla refleks berhenti. "Kok gitu?"
"Kamu kan sudah yakin. Nggak perlu takut kan?"
Digembungkannya kedua pipi Calla. Perempuan itu tengah berpikir satu hal kali ini. Iya, dia kelihatan begitu yakin ada Asa dibalik tembok ini. Tapi kalau enggak? Eh tapi hati Calla yakin sekali. Tidak mungkin kan dia bilang 'enggak jadi yakin kak'. Dia enggak mau mematahkan hati pemuda di hadapannya ini.
Calla menggigit bibirnya pelan guna meyakinkan diri. "O-oke!"
Saka tersenyum lebar mendengarnya. Hingga dua langkah lagi kedua orang itu sampai di belokan. Tak dapat dipungkiri detak jantung Calla berdebar kencang. Lukisan ke sembilan --bukan Asa. Degupan jantung Calla semakin kencang. Tapi tak memungkiri juga milik Saka sama seperti itu.
Lukisan ke sepuluh. Calla bersorak senang. Perempuan itu tanpa sadar melompat-lompat senang sambil menunjuk lukisan ke sepuluh. Tangannya yang satu terus dia gunakan untuk mengeratkan pelukan di lengan Saka.
"Nah! Apa aku bilang! Asa kak!"
Senyum Saka terukir makin lebar. Rasa debaran di dadanya akibat Calla yang cukup dekat nyatanya mampu mengalihkan debaran dari senangnya melihat Asa di jajaran top art. Pemuda itu lebih senang melihat Calla senang seperti ini.
"Asli sih aku bangga banget sama kak Saka! Selamat ya kak."
Masih dengan kuluman senyum, Saka mengangguk. "Terimakasih Cal."
Aksi lompat-melompat Calla akhirnya berhenti. Sadar akan tangannya yang masih memeluk lengan Saka, Calla pun cepat-cepat melepaskan. "Maaf kak."
Saka menggeleng sebagai jawaban. Pemuda itu sama sekali tak merasa perempuan itu bersalah.
"Harusnya kakak ajak mama papa kakak. Aku yakin mereka pasti banggaaaaa banget. Aku aja bangganya sampai luber-luber." Ucap Calla masih dengan senyuman lebar.
Kembangan senyum Saka perlahan memudar. Tiba-tiba ada rasa tak enak menyeruak di dadanya. Saka kemudian menyamping. Memfokuskan matanya pada Asa yang sekarang tertempel gagah.
Tak disangka rasa sakit itu kembali muncul. Sebuah rasa sakit yang pernah datang sampai Saka mampu menghasilkan Asa. Keduanya menyeruak hingga membaur. Garis-garis abstrak kemerahan di tubuh Asa membuat Saka tanpa sadar mengepalkan tangannya. Rahang pemuda itu mengetat. Pundi-pundi rasa sakitnya kian menebal hingga membentuk polesan hitam.
Saka bukan benci. Pemuda itu hanya-- ingin bebas.
Prok-prok-prok!