Sepulang dari kelas di jam terakhir, Saka bergegas pergi ke rumah sakit. Pemuda itu ingin menemui salah seorang sepupunya yang berprofesi hampir sama dengan jurusan kuliah yang ia ambil. Kebetulan juga si sepupu Saka itu akan habis jadwal sekitar setengah jam lagi. Jadi Saka bisa mengambil obrolan sepuas yang dia mau.
Perjalan dari kampus menuju rumah sakit tidak membutuhkan waktu lama, mungkin sekitar dua puluh menit. Dan menunggu sepuluh menit pun tak membuat Saka keberatan. Asalkan informasi-informasi yang ia peroleh nanti akan membuat nilai kejaran matkulnya besar.
Daripada menunggu di dalam mobil, Saka lebih memilih menghapiri ke dalam. Toh waktu sepuluh menit bisa ia gunakan untuk berjalan kesana kan. Sampai di koridor dokter spesialis, Saka melihat seorang laki-laki yang baru saja keluar dari ruangan psikiatri. Saka tersenyum lega karena pasien terakhir sepupunya itu sudah keluar.
Tanpa sadar Saka menambah laju langkahnya. Dari jarak cukup jauh ini, Saka menyipitkan matanya. Rasa-rasanya pemuda itu seperti mengenal sosok laki-laki yang berjalan berlawanan arah dengannya itu.
Saka terus mengamati. Tapi si laki-laki yang ia amati itu bahkan tak sedikit pun mengalihkan tatapannya yang terus lurus ke lantai putih rumah sakit. Setelah jarak mereka sudah cukup dekat Saka langsung menghentikan langkahnya. Dia tau siapa laki-laki itu. Saka bahkan sampai menolehkan kepalanya agar dapat melihat jelas wajah yang ia kenali itu. Takut-takut dia salah lihat. Tapi sampai tubuh Saka ikut berbalik pun tetap saja sosok itu memang dia. Raka.
Kenapa Raka keluar dari ruangan sepupunya?
Suara deringan ponsel di sakunya membuat Saka terkejut. "Halo? Sudah, saya sudah sampai kak. Iya."
Saka pun kembali berbalik setelah tak lagi menemukan Raka di koridor ini. Dalam langkahnya Saka masih penasaran dengan keluarnya mantan kekasih Calla dari ruang sepupunya itu. Sampai di depan pintu cokelat dengan papan bertuliskan Psikiatri Room itu Saka pun mengetuknya pelan. Tak menunggu lama dia segera masuk setelah mendengar jawaban dari dalam.
"Kak Wahyu."
Wahyu menyambut Saka dengan rautnya yang ramah. Laki-laki yang sudah menanggalkan jas putihnya itu pun segera meminta Saka untuk duduk sembari membuat secangkir teh yang akan siap.
"Apa kabar Sak? Mama papa kamu sehat?"
Saka mengangguk sopan. Walaupun laki-laki di depannya ini adalah sepupunya tetapi Saka tetap saja kagok. Dia tidak begitu dekat dengan Wahyu. Tapi dibandingkan dengan sepupunya yang lain Saka lebih memilih berada di lingkungan Wahyu. Karena baginya cuma Wahyu yang bisa dia jadikan sebagai tameng perlindungan. Berkat Wahyu juga sang papa mau mengizinkan Saka untuk mengambil Psikologi. Walaupun tentu ada satu perdebatan panjang yang melelahkan akhirnya sepupunya itu mampu memberi pengertian. Setelah perdebatan yang menyeret sepupunya itu akhirnya sang papa setuju, tentu dengan syarat Saka harus mengambil Psikologi Klinis untuk jenjang selanjutnya. Tapi bagi Saka, ya lihat saja nanti. Kali-kali papanya itu mau luluh membebaskan Saka untuk beralih profesi.
"Alhamdulillah baik kak. Mama papa juga sehat. Kakak sendiri?"
"Yaah, seperti yang kamu lihat. Sehat."
Usai berbasa-basi menanyakan seputar kabar dan keseharian Saka pun mulai menanyakan atau lebih tepatnya melakukan observasi pengetahuan pada seorang doker di depannya ini. Tapi meskipun ada jalinan persepupuan diantara keduanya, Saka tetap saja tak menyepelekan. Pemuda itu tetap formal sama seperti ketika melakukan observasi dengan dokter lain. Saka tidak mau menyalahgunakan hubungan persaudaraan hanya untuk sebuah nilai yang seharusnya bisa ia dapatkan secara profesional. Dan ini, kali pertamanya dia datang ke sepupunya ini. Selain cukup berbeda --karena Wahyu adalah seorang dokter, bukan psikolog-- Saka juga enggan untuk merepotkan sepupunya. Kalau saja Saka tidak sedang terburu-buru dia sudah dipastikan tidak akan duduk disini.
Perbincangan keduanya tak begitu lama. Selain Saka yang bisa dibilang sudah menyiapkan segala pertanyaan, dia juga tanggap sekali. Jadi waktu setengah jam Saka habiskan dengan efisien.