Setelah berhasil mencegat Raka di pinggir jalan usai Saka pulang dari rumah Calla tadi akhirnya dua orang itu punya waktu untuk mengobrol. Di sebuah tempat nongkrong yang penuh oleh anak muda itu Raka yang memilihkan tempat. Saka sendiri tak protes. Manut saja ketika Raka yang memimpin jalan. Toh sudah syukur laki-laki itu mau diajaknya mengobrol dua mata.
"Gue nggak punya waktu banyak. Gue musti kerja. Nggak kaya lo yang bisa keluyuran seenaknya."
Saka cukup tergelak. Kerja? Kerja macam apa yang laki-laki di depannya ini lakukan saat malam seperti ini. Terlebih pertanyaan kenapa harus kerja lebih mendominasi. Tapi Saka diam. Tak mau menyuarakan pertanyaan itu karena ia rasa ada yang lebih penting untuk ditanyakan. Dan lagi, seenaknya keluyuran? Haha! Saka hanya tertawa dalam hati. Keluyuran yang bagaimana?
"Saya mau to the point saja mengingat kamu yang sibuk." Ada jedaan dalam kalimat itu sebelum Saka melanjutkan. "Kamu masih mencintai Calla?"
"Kenapa kalo gue masih cinta sama Calla? Lo nggak terima?" Raka tertawa sebentar. "Asal lo tau walaupun gue masih cinta, gue udah nggak bisa sama dia lagi. Maka dari itu gue udah kasih lo jalan lebar buat deketin Calla."
"Saya tau. Tapi Calla juga masih mencintai kamu."
Raka diam. Seharusnya dia masih bisa berbahagia dengan Calla saat ini. Tepat dua bulan mereka putus, nyatanya begitu menyakiti Raka. Kian bertambahnya hari kian sulit pula ia menghilangkan perasaannya pada Calla. Tapi dia cukup sadar diri. Dia tidak mau dengan Calla yang berada di dekatnya malah menjadikan perempuan itu sebagai media dari tangan aliennya yang tak tau diri. Maka dari itu, Raka cukup diuntungkan ketika Calla sendiri yang meminta putus. Diuntungkan tapi juga menyakitkan. Tapi Raka percaya ini yang terbaik.
Menjauhi Calla, Sandi, Kiya, atau siapapun itu. Raka rela dicap sebagai teman yang yang tidak tahu diri. Dia juga rela diasingkan oleh teman sekelasnya. Hal ini justru mempermudah dia. Mempermudah mereka jauh dari jangkauannya. Karena ternyata si kiri kian hari kian tak tau aturan. Raka muak, tapi mau bagaimana?
Mengenai kerjaan sendiri, sudah berpuluh kali Raka membuat ulah. Menjatuhkan piring, mendorong gelas, bahkan pernah sekali menarik tali tenda hingga roboh separuh. Tapi bu Ratih tidak marah. Beliau juga tidak memecatnya. Terlebih malah dia yang sangat diberi keringanan.
Tiba-tiba Saka menampel tangan Raka yang sudah berjalan kearah api lilin di meja mereka. Memang setiap meja di tempat ini diletakkan sebuah lilin beraroma terapi. Apinya biru, terlihat panas sekali. Dan Saka sadar akan pergerakan sindrom Raka.
Raka tersentak. Matanya langsung mengarah ke si kiri lalu berpindah ke Saka. Tanpa menunggu lama, dia pun segera menyembunyikan tangannya ke bawah meja. Mengepal kuat agar terbit sebuah rasa. Lagi-lagi akan mencelakai. Tak jarang tangan itu kerap mendapat luka karena aksinya sendiri. Raka tak sadar, tau-tau dia sudah merasakan sakit saja ketika sadar.
Napas Raka yang sempat memburu itu perlahan mulai normal ketika ia bisa menerima si kiri sudah rileks. Tak dapat dipungkiri ia cukup kaget ketika Saka menampelnya tadi. Tapi dia beruntung, Saka menyelamatkannya.
"Sering?"