Tadi malam, setelah menutup telepon dari Michael, aku menghubungi Gloria dan mendapat giliran kerja lain. Gloria pemilik bar country tempatku bekerja di pusat kota. Cuma kedai minum kecil, dinding-dindingnya dari blok sinder dan tripleks, dicat hijau. Kali pertama melihatnya, aku sedang berkendara bersama Michael ke pinggiran kota menuju sebuah sungai; kami parkir di bawah jembatan layang yang melintasi sungai, kemudian berjalan sampai mencapai tempat berenang yang asyik. Apa itu? tanyaku, dan menunjuk. Kukira itu bukan rumah, meskipun bangunan tersebut berada rendah di bawah pepohonan. Ada terlalu banyak mobil yang diparkir di halaman rumput berpasir. Itu Cold Drink, kata Michael, dan dia menguarkan bau seperti pohon hard pear, dan matanya sehijau rerumputan di luar. Seperti Barq’s and Coke? tanyaku. Yap. Dia bilang mamanya satu sekolah dengan pemilik tempat itu. Aku menghubungi mamanya bertahun-tahun kemudian setelah Michael di penjara, bersyukur bahwa wanita itulah yang mengangkat telepon dan bukannya Big Joseph. Ayah Michael akan langsung menutup telepon daripada berbicara denganku, si negro yang mengandung bayi putranya. Aku bilang ke ibu Michael aku butuh kerja, dan bertanya apakah dia bersedia merekomendasikan diriku kepada pemiliknya. Itu percakapan keempat kami. Yang pertama adalah ketika aku dan Michael mulai menjalin hubungan, kedua ketika Jojo lahir, dan ketiga ketika Michaela lahir. Tetapi mama Michael tetap mengiyakan, kemudian dia bilang sebaiknya aku ke sana, ke utara ke Kill, tempat Michael dan orangtuanya berasal, tempat bar itu berada, dan sebaiknya aku memperkenalkan diri kepada Gloria, jadi aku pun melakukannya. Gloria mempekerjakanku dalam masa percobaan tiga bulan. Kau pekerja keras, katanya sambil tertawa, ketika dia bilang akan terus mempekerjakanku. Dia memulaskan eyeliner tebal-tebal, dan ketika dia tertawa, kulit di sekitar matanya kelihatan seperti kipas berbentuk rumit. Bahkan lebih keras daripada Misty, katanya, padahal dia nyaris tinggal di sini. Kemudian dia melambaikan tangan, menyuruhku kembali ke bar di depan. Kuraih nampan minumanku, dan tiga bulan berubah menjadi tiga tahun. Setelah hari keduaku di Cold Drink, aku tahu kenapa Misty bekerja begitu keras: cewek itu teler setiap malam. Lortab, Oxycontin, kokain, Ekstasi, meth.
Sebelum aku tiba untuk bekerja di Cold Drink tadi malam, Misty pasti mendapatkan uang tip besar, karena setelah kami mengepel dan membersihkan dan menutup semuanya, kami pergi ke pondok MEMA merah muda yang ditempatinya sejak Badai Katrina, dan dia mengeluarkan kokain.
“Jadi, dia akan pulang?” tanya Misty.
Misty membuka-buka semua jendela. Dia tahu aku suka mendengar keadaan di luar saat teler. Aku tahu dia tidak suka teler sendirian, dan karena itulah dia mengajakku ke tempatnya, dan karena itulah dia membuka jendela-jendela meskipun udara malam musim semi yang basah merembes masuk ke rumah seperti kabut.
“Yap.”
“Kau pasti senang.”
Jendela terakhir didorong terbuka dan dipancangkan, dan aku memandang keluar ketika Misty duduk di meja dan mulai memotong dan membagi. Aku mengangkat bahu. Aku merasa sangat senang ketika menerima panggilan telepon itu, ketika aku mendengar suara Michael mengucapkan kata-kata yang kubayangkan akan dia katakan selama berbulan-bulan, selama bertahun-tahun, sangat senang sampai-sampai isi perutku terasa seperti selokan yang dipenuhi ribuan berudu. Tapi kemudian ketika aku pergi, Jojo mendongak dari tempatnya duduk bersama Pop di ruang keluarga, menonton acara berburu entah apa, dan sekejap, ekspresinya, cara wajahnya tertekuk, tampak seperti Michael setelah salah satu pertengkaran terburuk kami. Kecewa. Sedih melihatku pergi. Dan aku tak dapat menepis perasaan itu. Raut wajahnya terus menghantuiku sepanjang giliran kerjaku, membuatku mengambil Bud Light alih-alih Budweiser, Michelob alih-alih Coors. Kemudian wajah Jojo terus melekat dalam pikiranku karena aku tahu diamdiam dia menyangka akan mendapatkan kado kejutan dariku, sesuatu selain kue yang dibeli terburu-buru, sesuatu yang tidak akan habis dalam tiga hari: bola basket, buku, sepatu Nike high top untuk ditambahkan dalam koleksi sepatunya yang cuma sepasang.
Aku membungkuk di meja. Menghirupnya. Rasa membakar yang menyegarkan menjalari tulang-tulangku, dan aku pun terlupa. Sepatu yang tidak kubeli, kue tart yang meleleh, panggilan telepon itu. Si balita tidur di ranjangku di rumah, sementara putraku tidur di lantai, kalau-kalau aku pulang dan menyuruhnya turun ke lantai ketika aku tersaruk-saruk masuk. Sialan.
“Senang banget.” Aku berkata lambat-lambat. Menyuarakan suku katanya satu-satu. Pada saat itulah Given kembali.
Anak-anak di sekolah meledek Given soal namanya. Suatu hari, dia pernah berkelahi gara-gara hal itu di bus, berguling-guling dari kursi ke kursi dengan cowok besar berambut merah yang pakai celana tentara. Dalam keadaan frustrasi dan bibir yang bengkak, dia pulang dan bertanya kepada Mama: Kenapa sih kalian memberiku nama itu? Given? Enggak masuk akal. Lalu Mama akan berjongkok dan mengusap-usap telinganya, dan berkata: Given karena itu berima dengan nama papamu: River. Dan Given karena usiaku empat puluh ketika mengandungmu. Papamu lima puluh. Kami pikir kami tidak akan pernah punya anak, tetapi pada saat itulah kau dianugerahkan untuk kami—Given. Dia tiga tahun lebih tua dariku, dan ketika dia dan si cowok bercelana tentara berguling dan bergulat di kursi, aku mengayunkan tas bukuku menghantam bagian belakang kepala si cowok Tentara.
Tadi malam, dia tersenyum kepadaku, Given-yang-bukan-Given ini, Given yang sudah mati lima belas tahun ini, Given yang menghampiriku setiap kali aku menyedot kokain ini, setiap kali aku menenggak pil. Dia duduk di salah satu kursi kosong di meja bersama kami, dan mencondongkan tubuh ke depan, dan menopangkan sikunya ke meja. Dia mengawasiku, seperti biasanya. Dia punya wajah Mama.
“Sebesar itu, eh?” Misty menyedot sedosis zat adiktif itu lagi dengan hidungnya.
“Yap.”
Given menggosok puncak kepalanya yang plontos, dan aku melihat satu perbedaan lain antara versi hidup dan versi khayalan kimiawi ini. Given-yang-bukan-Given tidak bernapas dengan benar. Tidak bernapas sama sekali. Dia memakai kemeja hitam, yang bagaikan kolam tenang penuh nyamuk.
“Bagaimana kalau Michael sudah berubah?” tanya Misty.
“Tidak akan.”
Misty melempar gumpalan tisu yang digunakannya untuk membersihkan meja.
“Apa sih yang kau lihat?” tanyanya.
“Enggak ada.”
“Omong kosong.”
“Enggak ada orang yang duduk dan menatap tempat yang sebersih ini cukup lama tanpa melihat sesuatu.” Misty melambaikan tangan ke arah bubuk kokain itu dan mengedipkan sebelah mata ke arahku. Dia menato inisial pacarnya di jari manis, dan sejenak, tato itu kelihatan seperti huruf dan serangga lalu huruf lagi. Pacarnya Hitam, dan pertalian kasih lintas warna kulit inilah yang menjadi alasan kami berteman secepat itu. Misty sering bilang bahwa sejauh menurut pendapatnya, mereka sudah menikah. Dia bilang dia membutuhkan cowok itu karena ibunya tidak pernah memedulikannya. Misty cerita bahwa dia mulai datang bulan waktu kelas lima, waktu usianya sepuluh tahun, dan karena dia tidak menyadari apa yang terjadi padanya, tubuhnya mengkhianatinya, dia berjalan setengah hari dengan noda darah yang kian menyebar seperti noda minyak di bagian belakang celananya. Sang ibu memukulinya di pelataran parkir sekolah, dia sangat malu. Kepala sekolah sampai harus memanggil polisi. Hanya satu dari sekian banyak cara aku mengecewakannya, kata Misty.
“Aku sedang merasakannya,” kataku.
“Kau tahu kan aku bisa lihat kalau kau bohong?”
“Kok bisa?”
“Kau mematung. Orang-orang selalu bergerak, sepanjang waktu, ketika mereka berbicara, ketika mereka terdiam, bahkan ketika mereka tidur. Menatap nanar, menatapmu, tersenyum, mengernyit, semua itu. Ketika bohong, kau langsung mematung; wajah kosong, lengan-lengan melunglai. Kayak mayat saja. Aku enggak pernah lihat apa pun seperti itu.”
Aku mengangkat bahu. Si Given-yang-bukan-Given mengangkat bahu. Dia enggak bohong, kata hantu abangku tanpa suara.
“Kau pernah melihat sesuatu?” kataku. Kata-kata itu terlontar dari mulutku sebelum aku sempat memikirkannya. Tetapi pada saat itu, dia sahabatku. Dia satu-satunya temanku.
“Apa maksudmu?”
“Waktu lagi teler?” Aku melambaikan tangan seperti cara Misty menggerakkannya beberapa saat sebelumnya. Ke arah kokain, yang sekarang ini tinggal jadi tumpukan debu menyedihkan di meja. Cukup untuk dua-tiga sedotan lagi.
“Jadi, karena itu? Kau melihat yang tidak-tidak?”
“Cuma garis-garis. Seperti cahaya neon atau semacamnya. Di udara.”
“Usaha yang bagus. Cobalah gerak-gerakkan tanganmu atau lainnya. Sekarang, ceritakan apa yang sebenarnya kau lihat?”
Rasanya aku ingin meninju wajahnya.
“Sudah kubilang, kan.”
“Yeah, kau bohong lagi.”
Tapi aku tahu ini pondoknya, dan ketika situasinya memburuk, akulah si kulit Hitam dan dia Putih, dan jika seseorang mendengar kami bertengkar dan memutuskan untuk memanggil polisi, akulah yang bakal diseret ke penjara. Bukan dia. Biarpun kami bersahabat dan lainnya.
“Given,” kataku. Lebih mirip bisikan daripada apa pun, dan Given mencondongkan tubuh ke depan agar bisa mendengarku. Meluncurkan tangan ke seberang meja, tangan berbuku jari besar dan bertulang rampingnya, ke arahku. Seolah-olah dia ingin memberiku dukungan. Seolah-olah dirinya berdarah dan berdaging. Seolah-olah dia bisa meraih tanganku dan menggiringku keluar dari sana. Seolah-olah kami bisa pulang. Misty kelihatan seperti baru makan sesuatu yang masam. Dia mencondongkan tubuh ke depan, dan menyedot sebaris kokain lagi.
“Aku bukan pakar atau semacamnya, tapi aku cukup yakin enggak seharusnya kau berhalusinasi seperti itu.”
Dia bersandar ke kursi, meraup rambutnya dan melontarkannya ke punggung. Bishop menyukainya, dia pernah bercerita tentang pacarnya. Tak bisa menjauhkan tangannya dari rambut ini. Itu salah satu hal yang tak pernah dilakukannya secara sadar, memainmainkan rambutnya yang mudah diatur. Cara rambutnya menangkap cahaya. Kecantikan yang dipenuhi kepuasan diri. Aku benci rambutnya.
“Acid, iya,” lanjutnya. “Mungkin bahkan meth. Tapi ini? Tidak.” Given-yang-bukan-Given mengernyit, meniru kibasan rambut Misty yang kecewek-cewekan, dan menggerakkan mulut: Dia tahu apa sih? Tangan kiri abangku masih ada di atas meja. Aku tak bisa menjangkaunya, meskipun segala hal di dalam diriku ingin melakukannya, untuk merasakan kulitnya, dagingnya, merasakan tangannya yang kering dan keras. Ketika kami tumbuh dewasa, entah sudah berapa kali dia berkelahi membela kami di bus, di sekolah, di lingkungan tempat tinggal kami ketika anak-anak lain meledekku tentang betapa Pop mirip orang-orangan sawah, dan Mama penyihir. Tentang betapa aku mirip Pop: seperti tongkat yang hangus, berpakaian compang-camping. Perutku bergolak seperti binatang di liangnya, berulang-ulang, mencari kenyamanan dan kehangatan sebelum terlelap. Kunyalakan sebatang rokok.
“Wah, gitu, ya,” sahutku.
Kue ulang tahun Jojo tidak bertahan lama: keesokan harinya, rasanya seperti basi lima hari, bukan satu hari. Rasanya seperti bubur kertas, tetapi aku terus makan. Aku tak bisa menahan diri. Gigiku mengunyah dan mengerkah, meskipun aku tidak punya cukup ludah dan tenggorokanku enggan menelan. Efek kokainlah yang membuatku mengunyah seperti ini sejak tadi malam. Pop bicara kepadaku, tapi yang bisa kupikirkan hanyalah kondisi rahangku.
“Kau tidak perlu membawa anak-anak ke mana pun,” kata Pop. Seringnya, Pop kelihatan seperti masih muda. Begitu pula halnya dengan Jojo, seringnya, aku memandangnya sebagai bocah lima tahun. Aku tidak pernah melihat Pop sebagai sosok bungkuk dan keriput termakan usia: aku melihatnya dengan gigi putih, punggung tegap, mata sehitam dan semengilat rambutnya. Aku pernah bilang kepada Mama kalau aku menyangka Pop mengecatnya, dan Mama memutar bola mata ke arahku dan tertawa, dulu waktu dia masih bisa tertawa. Begitulah Pop-mu, begitu Mama akan berkata. Kue tartnya begitu manis sampai-sampai hampir terasa getir.
“Perlu,” kataku.
Aku tahu aku bisa mengajak Michaela saja. Itu akan lebih mudah, tapi aku tahu begitu kami sampai ke penjara dan Michael berjalan keluar, sesuatu di dalam dirinya akan kecewa jika Jojo tidak ada di sana. Jojo sudah kelihatan seperti aku dan Pop, dengan kulit cokelat dan mata hitamnya, dengan caranya berjalan, memantul- mantul pada tumit kakinya, segala sesuatu tentang dirinya sangat lurus. Jika Jojo enggak berdiri di sana bersama kami, menunggu Michael, yah rasanya bakal keliru.
“Bagaimana dengan sekolahnya?”
“Cuma dua hari, Pop.”
“Sekolah itu penting, Leonie. Bocah itu butuh belajar.”
“Dia cukup pintar untuk ketinggalan pelajaran dua hari.”
Pop meringis, dan di sepanjang ringisannya, aku melihat penuaan di wajahnya. Tak dapat ditawar lagi, garis-garis itu membawanya turun, seperti Mama. Ke rumah sakit, ke ranjang, ke tanah, dan ke kuburan. Turunannya begitu pasti.
“Aku enggak suka memikirkan kau sendiri saja membawa dua anak di jalan, Leonie.”