Sarapan hari ini adalah kambing dingin dengan saus gravy dan nasi: meskipun sudah dua hari sejak ulang tahunku, panci itu masih setengah penuh. Aku terbangun oleh Leonie yang melangkahiku. Dia menyandang tas di bahu dan sedang meraih Kayla. “Bangun,” kata Leonie, tidak menatapku, tetapi mengernyit saat Kayla merengek terbangun. Aku bangun, gosok gigi, pakai celana basket pendek dan kaus, dan mengangkut tasku keluar ke mobil. Leonie bawa tas sungguhan, sesuatu yang terbuat dari kain katun dan kanvas, meskipun sudah agak usang, dengan jahitannya yang mulai longgar. Tasku berupa kantong plastik belanjaan. Aku enggak pernah butuh tas menginap, jadi Leonie enggak membelikannya buatku. Ini perjalanan pertama kami ke utara menuju penjara bersamanya. Aku mau makan kambing itu panas-panas, memanaskannya di microwave kecil berwarna cokelat, alat yang kata Pop meneteskan kanker ke makanan kami karena lapisan enamel di dalamnya sudah mengelupas seperti cat. Pop enggak mau memanaskan apa pun menggunakannya, dan Leonie enggak mau memberi separuh uang yang dibutuhkan untuk menggantinya. Ketika aku mulai memasukkan makananku ke microwave, Leonie lewat dan berkata: “Enggak ada waktu lagi.” Jadi, kutempatkan sisa hidangan ulang tahunku ke mangkuk Styrofoam; diam-diam masuk ke kamar untuk mencium Mam, yang menggumamkan bayi-bayi dan berkedut-kedut dalam tidurnya; kemudian keluar ke mobil.
Pop sudah menunggu kami. Kelihatannya dia tidur menggunakan pakaiannya, celana khaki-nya yang kaku, kemeja berlengan pendeknya, semuanya abu-abu dan cokelat, seperti dirinya. Sosoknya senada dengan langit, yang menggantung rendah, saringan perak yang penuh hingga bocor. Saat itu gerimis. Leonie melempar tasnya ke kursi belakang dan berderap kembali ke dalam rumah. Misty sedang bermain dengan kontrol radio dan mobilnya sudah menyala. Pop mengerutkan dahi ke arahku, jadi aku berhenti dan berjalan menyeret ke depannya. Menunduk menekuri kakiku. Sepatu basketku milik Michael; sepasang sepatu kebesaran satu inci untukku yang kutemukan tergeletak di kolong ranjang Leonie. Aku enggak peduli. Ini Nike Jordan, jadi aku tetap memakainya.
“Mungkin bakal hujan deras di jalan.”
Aku mengangguk.
“Kau ingat cara mengganti ban, kan? Memeriksa oli dan pendinginnya?”
Aku mengangguk lagi. Pop mengajariku semua itu ketika usiaku sepuluh tahun.
“Bagus.”
Aku ingin bilang kepada Pop kalau aku enggak mau pergi, kalau aku ingin diriku dan Kayla tetap tinggal di rumah, dan aku mungkin akan melakukannya seandainya Pop tidak kelihatan sebegitu marah, seandainya kernyitan tidak tampak terukir di mulut dan dahinya, seandainya Leonie tidak berjalan keluar bersama Kayla, yang menggosok-gosok mata dan menangis karena dibangunkan dalam cahaya kelabu. Sekarang pukul tujuh pagi. Jadi, aku berkata sebisaku.
“Tidak apa-apa, Pop.”
Kernyitannya mereda ketika mendengarnya, selama beberapa saat, cukup lama baginya untuk mengatakan: “Jaga mereka.”
“Siap.” Leonie menegakkan tubuh setelah mendudukkan Kayla di kursi bayi di jok belakang.
“Ayo. Kita harus pergi.”
Aku menghampiri Pop dan memeluknya. Aku tak dapat mengingat kapan kali terakhir aku memeluknya, tetapi rasanya penting melakukannya pada waktu itu, untuk melingkarkan lengan di sekelilingnya dan menempelkan dadaku ke dadanya. Untuk menepuk punggungnya satu, dua kali dengan ujung jemariku, lalu melepaskannya. Dia Pop-ku, batinku. Dia Pop-ku.
Dia menaruh tangan di bahuku dan meremasnya, kemudian memandang hidung, telinga, rambut, dan akhirnya mataku ketika aku melangkah mundur.
“Kau sudah dewasa, kau dengar?” katanya. Aku mengangguk. Dia meremas bahuku lagi, matanya terpaku pada sepatu terlupakan yang kupakai, yang kelihatan begitu kenyal dan konyol dibandingkan dengan bot kerjanya, tanah di pelataran mobil berpasir dan rumputnya menipis karena sering dilintasi mobil Leonie, langit menekan kami semua, sehingga semua binatang yang kukira bisa kupahami terdiam, ditundukkan di bawah hujan menjelang musim semi. Satu-satunya binatang yang kulihat di hadapanku adalah Pop, Pop dengan bahu lurus dan punggung tinggi. Hanya mata penuh permohonannya yang berbicara kepadaku pada saat itu dan memberitahukan apa yang diungkapkannya tanpa kata-kata: Aku menyayangimu, Nak. Aku menyayangimu.
Sekarang hujan turun, air mengalir dengan deras, memukul-mukul mobil. Kayla terlelap, kemasan Capri Sun yang sudah kempis di satu tangan, dan sebatang Cheeto di tangannya yang lain, wajahnya berlumur oranye. Rambut afro pirang cokelatnya tampak kusut di kepalanya. Misty bersenandung mengikuti lagu di radio, rambutnya diikat mirip sarang. Beberapa helainya terlepas, bagaikan ranting yang longgar, menggantung pada lehernya. Rambutnya berubah gelap gara-gara keringat. Hawa di dalam mobil gerah, dan aku mengamati kulit di sekitar tengkuk Misty basah oleh bintik-bintik keringat, dan bintik-bintik itu berubah menjadi seperti hujan yang mengalir di batang lehernya dan menghilang ke balik kemejanya. Semakin jauh kami berkendara, semakin gerah keadaannya, dan kemeja Misty, yang berpotongan lebar dan longgar di sekitar garis lehernya, meregang semakin lebar sehingga puncak branya mengintip, dan dengan tubuh setinggiku, aku sadar aku dapat melihatnya dari kursi belakang jika memandang secara diagonal melintasi mobil. Warnanya biru terang. Jendela-jendelanya mulai berembun.
“Gerah sekali, ya, di dalam sini?” Misty mengipas-ngipas dirinya dengan sehelai kertas yang dikeluarkannya dari laci dasbor Leonie. Kelihatannya seperti berkas asuransi palsu untuk mobil Leonie. Orang-orang membayar Misty dua puluh dolar untuk membuat salinan kartu dan memasukkan nama mereka ke salinan itu sehingga jika mereka dihentikan oleh polisi setempat, kelihatannya seolah mereka memiliki asuransi.
“Sedikit,” jawab Leonie.
“Kau tahu kan aku enggak tahan panas. Alergiku bisa kumat.”
“Kata orang yang lahir dan besar di Mississippi.”
“Terserah.”
“Maksudku adalah kau berada di negara bagian yang salah.”
Rambut Misty gelap di bagian akarnya, pirang di semua tempat lain. Ada bintik-bintik di bahunya.
“Mungkin aku perlu pindah ke Alaska,” sahut Misty.
Kami menyusuri jalan-jalan pedalaman sepanjang perjalanan ke sana. Leonie melempar atlas ke pangkuanku ketika aku masuk ke kursi penumpang di belakangnya, berkata: “Kau baca peta.” Dia sudah menandai rutenya dengan pulpen, yang mengarah ke utara dalam belitan dua jalan tol berlajur-dua, bebercak di tempat-tempat jari Leonie naik-turun menyusuri negara bagian. Tanda pulpen itu gelap, jadi sulit bagiku untuk membaca nama rutenya, huruf dan angkanya berbayang. Tapi aku melihat nama lembaga pemasyarakatan itu, penjara yang dulu ditempati Pop: Parchman. Terkadang aku bertanya-tanya siapa pria yang terpanggang itu, pria yang mati kehausan, pria yang namanya dijadikan nama kota dan nama penjara itu. Bertanya-tanya apakah dia mirip Pop, jujur dan tak pernah macam-macam, berkulit cokelat dengan sedikit nuansa merah, atau aku, dengan warna kulit tengah-tengah, atau Michael, yang seputih susu. Bertanya-tanya apa yang dikatakan pria itu sebelum mati gara-gara tenggorokan yang kering.
“Aku juga,” sahut Leonie. Tadi malam, dia mengoleskan krim untuk melemaskan rambut di dapur dan mengeramasnya di bak cuci, sehingga miliknya jadi selurus dan sehalus rambut Misty. Misty mengecat ujung-ujung rambut Leonie dengan warna pirang yang sama seperti rambutnya beberapa minggu lalu, jadi ketika Leonie berdiri di atas wastafel dan membilas dan mendesis ketika air membasahi kulit kepalanya, di atas luka bakar kimia yang akan kulihat belakangan, keropeng kecil seperti koin di kulit kepalanya, rambutnya tampak seperti bukan miliknya, lemas dan menjurai pirang-oranye ke saluran pembuangan. Sekarang rambutnya mulai mengembang dan mengikal.
“Kalau aku sih suka,” sahutku. Mereka mengabaikanku. Sungguh. Aku memang suka panas. Aku suka cara jalan bebas hambatan ini membentang menembus hutan, menikung menyusuri bukit menuju utara, mantap dan berombak-ombak. Aku suka pepohonan yang menjulur dari kedua sisi, pohon-pohon pinusnya lebih tinggi dan lebih tebal di atas sini, terselamatkan dari empasan badai yang membuat pepohonan di daerah pesisir begitu kurus dan rapuh. Tetapi itu tidak menghentikan manusia dari menebangi pepohonan untuk melindungi rumah-rumah mereka selama badai atau untuk menebalkan dompet masing-masing. Banyak hal mungkin terjadi di dalam pohon-pohon itu.
“Kita harus berhenti,” kata Leonie.
“Kenapa?”
“Isi bensin,” sahut Leonie. “Aku haus.”
“Aku juga,” kataku.
Ketika kami menepi ke jalur berkerikil di depan pom bensin kecil, Leonie memberiku uang tiga puluh dolar yang sama yang kulihat tadi diserahkan Misty kepadanya ketika dia masuk ke mobil pagi ini, dan Leonie menatapku seolah dia tidak mendengarku mengatakan aku haus.
“Dua puluh lima dolar untuk bensin. Belikan aku Coke, dan serahkan kembaliannya padaku.”
“Boleh aku minta juga?” desakku. Bisa kurasakan rasa manis yang membakar dari minuman itu. Aku menelan ludah, dan kerongkonganku terasa seret seperti Velcro. Kurasa aku tahu bagaimana perasaan si parch man, pria yang mati kehausan itu.
“Serahkan kembaliannya.”
Aku enggak mau pergi ke mana-mana. Aku mau terus memandang kemeja Misty. Branya berkelebat biru lagi, jenis biru yang hanya pernah kulihat dalam foto, sewarna perairan dalam di lepas pantai Teluk Meksiko. Jenis biru dalam gambar-gambar yang Michael ambil waktu dia bekerja di kilang minyak lepas pantai, dan airnya bagaikan dataran hidup yang basah di sekitarnya, menciptakan mangkuk biru besar bersama langit.
Bagian dalam toko bahkan lebih redup daripada cahaya pucat musim semi di luar. Ada seorang wanita yang duduk di belakang kasir, dan dia lebih cantik dari Misty. Rambutnya hitam keriting, bibirnya merah muda ungu akibat pendingin udara, mulutnya membentuk U terbalik. Kulitnya sama denganku, dan tubuhnya juga lebih padat dari Misty. Cambuk kerinduan, seperti potongan kabel listrik yang mulai memercikkan api, tercetus menjalariku bagian belakang rusukku.
“Hai,” gumamnya, dan cewek itu kembali memainkan ponsel. Setiap dinding dilapisi dengan rak-rak logam, dan rak-rak logam dilapisi dengan debu. Aku berjalan ke bagian belakang yang remang-remang seolah aku pernah berada di sini sebelumnya, seolah aku tahu apa yang kuinginkan dan aku tahu di mana letaknya. Seperti cara berjalan pria dewasa. Seperti Pop. Mataku membakar dan menemukan etalase minuman di bagian depan toko. Aku memandangi kaca etalase, membayangkan betapa basah dan bergelembungnya minuman itu akan terasa, menelan ludah dari kerongkonganku yang kering: kering seperti sungai yang berbatu saat kemarau. Ludahku sekental pasta. Aku menoleh kembali ke arah si penjaga toko dan dia memperhatikanku, jadi aku mengambil Coke terbesar dan bahkan tidak mencoba menyelipkan satu lagi di sakuku. Aku berjalan ke depan.
“Satu dolar tiga puluh sen,” katanya, dan aku harus mencondongkan tubuh ke arahnya untuk mendengar karena guntur menggelegar, petir berkelebat, dan langit menumpahkan air di atap seng bangunan: riuh. Aku tidak bisa melihat ke balik bajunya tapi itulah yang kupikirkan ketika aku berdiri di tengah hujan, menarik bagian belakang bajuku menutupi kepala seolah-olah itu bisa melindungiku, tapi aku basah kuyup, asap knalpot pekat oleh aroma tanah basah, hujan turun membutakanku, mengalir dari hidungku. Semua itu membuatku merasa seolah-olah aku tidak bisa bernapas. Aku teringat tepat pada waktunya dan memiringkan kepala ke belakang, menahan napas, dan membiarkan hujan menetes ke tenggorokanku. Pisau tipis yang dingin saat aku menelan. Satu. Dua. Tiga kali karena pompanya sangat lambat. Hujan menekan mataku hingga tertutup, memijatnya. Kukira aku mendengar bisikan sesuatu, desiran sebuah kata, tetapi kemudian kata itu lenyap ketika tangki memperdengarkan bunyi ping dan noselnya mengendur. Mobil itu erat dan hangat, dan Kayla mendengkur.
“Aku bisa membelikanmu minum kalau kau haus,” kata Misty. Aku mengangkat bahu dan Leonie menyalakan mobil. Aku melepas bajuku, berat bagai handuk basah, dan meletakkannya di lantai sebelum membungkuk untuk mengaduk-aduk tasku mencari baju lain. Saat aku mengeluarkannya, aku melihat Misty memandangku lewat cermin yang menempel di belakang penghalang matahari di kursi penumpang, sementara dia memulaskan lipgloss, bibirnya berubah dari merah muda kering menjadi peach mengilap; ketika menyadari aku melihatnya memandang, dia mengedipkan sebelah mata. Aku bergidik.
Usiaku sebelas tahun ketika Mam membahas soal itu kepadaku. Pada waktu itu, dia sudah sangat sakit sampai-sampai menghabiskan beberapa jam di tengah-tengah setiap hari di tempat tidur, selimut tipis melingkar di pinggangnya, tidur dan terjaga kaget. Dia seperti salah satu binatang Pop yang bersembunyi di lumbung atau salah satu teratak yang dibangun di sisi gudang, tersembunyi dari panas. Tetapi hari ini dia tidak tidur.
“Jojo,” panggilnya, suaranya bagaikan senar pancing yang dilemparkan sangat lemah sehingga angin menangkapnya. Tetapi tetap saja, beban berat menekan dadaku, dan aku berhenti di tengah jalan menuju pintu belakang, menuju Pop, yang sedang bekerja di luar, dan berjalan ke kamar Mam.
“Mam?” kataku.
“Bayinya?”
“Tidur.” Mam menelan dan kelihatannya kesakitan, jadi aku mengulurkan segelas air.
“Duduk,” katanya, jadi aku menarik kursi di samping tempat tidurnya mendekat, senang bahwa dia terjaga, kemudian dia menarik buku tipis lebar dari sisinya dan membukanya ke diagram paling memalukan yang pernah kulihat, penis lembek dan ovarium seperti belimbing, dan mulai mengajariku anatomi manusia dan seks. Ketika dia mulai berbicara tentang kondom, rasanya aku ingin merangkak ke kolong tempat tidurnya dan mati saja. Wajah, leher, dan punggungku masih terbakar ketika dia meletakkan buku itu di sisi yang paling dekat dengan dinding, menjauhkannya sehingga aku tidak bisa melihatnya lagi.
“Pandang aku,” katanya.
Ada garis-garis, garis-garis baru sejak kanker, mengalir dari hidungnya ke ujung mulutnya. Dia tersenyum simpul.
“Aku membuatmu malu,” katanya.
Aku mengangguk. Rasa malu itu mencekikku.
“Kau semakin dewasa. Kau perlu tahu. Aku juga membahas soal ini kepada mamamu.” Dia memandang melewatiku, ke pintu di belakangku, dan aku berbalik, berharap akan melihat Pop, atau Kayla tersaruk-saruk dan rewel dari tidur siangnya yang terlalu pendek, tapi tidak ada apa-apa kecuali keset yang berkilau karena pancaran cahaya dari dapur. “Pamanmu juga, dan wajahnya lebih merah darimu.”
Tidak mungkin.
“Pop-mu tidak tahu cara menceritakan kisah secara langsung. Kau tahu, kan? Dia menceritakan bagian awal tetapi tidak memberitahukan bagian akhirnya. Atau, dia melewatkan sesuatu yang penting di tengah. Atau, dia memberitahumu awal tanpa memaparkan bagaimana semuanya sampai di sana. Dia selalu seperti itu.”
Aku mengangguk.
“Dulu aku harus menyatukan hal-hal yang dia ceritakan kepadaku untuk mendapatkan gambaran utuh. Menyatukan paragraf paragrafnya seperti kepingan puzzle. Keadaannya lebih buruk ketika kami baru mulai berhubungan. Aku tahu dia dikurung beberapa tahun, di Parchman. Aku tahu karena aku mendengarkan sesuatu yang seharusnya tidak kudengarkan. Aku baru lima tahun ketika dia ditangkap, tetapi aku dengar tentang perkelahian di bar, kemudian dia dan saudaranya, Stag, menghilang. Dia pergi dan tak kembali selama bertahun-tahun, dan ketika kembali, dia tinggal bersama mamanya untuk merawatnya, dan bekerja. Dia sudah kembali selama bertahun-tahun sebelum dia mulai mampir, membantu ayahku dan mama dengan hal-hal kecil di sekitar rumah. Melakukan tugas demi tugas bahkan sebelum dia memperkenalkan dirinya kepadaku. Aku sembilan belas tahun, dan dia dua sembilan. Suatu hari, saat aku dan dia duduk di beranda depan rumah mama dan ayahku dan kami mendengar Stag lewat, menyusuri jalan, bernyanyi, dan River bilang: Ada hal-hal yang menggerakkan seorang manusia. Seperti arus air di dalam dirinya. Hal-hal yang tak bisa dicegahnya. Semakin tua diriku, semakin aku menyadari kebenarannya. Apa yang ada di dalam diri Stag adalah air yang begitu hitam dan dalam sampai-sampai kau tidak bisa melihat dasarnya. Stag tertawa sekarang. Tapi kemudian Pop berkata: Parchman mengajariku hal yang sama, Philomène. Beberapa hari kemudian, aku mengerti apa yang ingin dia sampaikan, bahwa tumbuh besar berarti belajar bagaimana cara menangani arus ini: belajar kapan harus berpegangan erat, kapan harus membuang sauh, kapan harus membiarkannya menyapumu. Dan itu bisa jadi sesuatu yang sederhana seperti seks, atau bisa juga sesuatu yang rumit seperti jatuh cinta, atau bisa seperti masuk penjara dengan saudaramu, berpikir kau akan melindunginya.” Kipas kotak itu mendengung. “Kau mengerti apa maksudku, Jojo?”
“Ya, Mam,” kataku. Padahal, tidak. Mam membiarkanku pergi dan aku pergi ke pekarangan dan menemukan Pop sedang memberi makan babi. “Maukah kau bercerita lagi?” pintaku kepadanya. “Apa yang terjadi, Pop? Ketika kau masuk penjara?” Dia berhenti, sambungan kecil di lengkungan ember yang mulus, dan dia pun menceritakan kisahnya.
Bocah dua belas tahun yang kuceritakan padamu itu? Richie? Mereka menempatkannya dalam barisan panjang. Dari matahari terbit hingga matahari terbenam kami berada di luar sana di ladang, mencangkul, memetik, menanam, dan menyiangi. Ketika seseorang tiba di titik itu, dia tak bisa berpikir. Hanya merasa. Merasa seperti dia ingin berhenti bergerak. Merasa perutnya terbakar dan tahu dia ingin makan. Merasa kepalanya dipenuhi kapas dan tahu dia ingin tidur. Merasa kerongkongannya menutup dan api menjalari lengan dan kakinya, jantung berdetak keras di dadanya, dan tahu dia ingin lari. Tapi tak bisa lari. Kami sasaran tembak, di bawah todongan senjata para penembak tepercaya. Itulah seluruh dunia kami: barisan panjang. Orang-orang digelandang ke seluruh ladang, penembak tepercaya mengintai dari pinggir, si pengawas di atas bagalnya, si penyeru berteriak ke matahari, melantunkan lagu kerja para budak. Seperti jala. Kami tertangkap dan menggelepar. Dulu, nenekku pernah cerita soal nenek buyutnya. Dia datang melintasi samudra, diculik dan dijual. Katanya, sang nenek buyut bercerita bahwa di desanya, mereka makan rasa takut. Katanya rasa takut mengubah makanan jadi pasir di mulut mereka. Katanya semua orang tahu tentang derap kematian ke pinggir pantai, tersiar kabar tentang kapal, tentang bagaimana mereka menjejalkan pria dan wanita ke dalamnya. Ada yang dengar bahwa keadaannya bahkan lebih buruk bagi mereka yang mengarungi samudra, tenggelam ke kejauhan. Karena itulah yang terlihat ketika kapal melintasi cakrawala: seolah-olah kapal berlayar dan tenggelam, sedikit demi sedikit, masuk ke air. Nenek buyutnya bilang mereka tidak pernah keluar pada malam hari, dan bahkan pada siang hari, mereka tinggal di bayang-bayang rumah sendiri. Tapi tetap saja, mereka datang untuknya. Menculiknya dari rumahnya pada tengah hari bolong. Membawanya ke sini, dan dia 79Sing, Unburied, Sing belajar bahwa kapal itu tidak tenggelam di suatu tempat berair, diawaki oleh hantu-hantu putih. Dia belajar bahwa hal-hal buruk terjadi di kapal, sepanjang jalan sampai kapal itu merapat. Bahwa kulitnya tumbuh mengitari rantai. Mulutnya berbentuk pengikat moncong. Bahwa dia dijadikan binatang di bawah langit yang panas dan cerah, langit yang sama dengan anggota keluarganya yang lain, hanya saja di suatu tempat yang jauh di luar sana, di dunia lain. Aku tahu seperti apa rasanya, untuk dijadikan binatang. Sampai bocah itu muncul di barisan, sampai aku menemukan diriku berpikir lagi. Mengkhawatirkannya. Melihat dari sudut mataku ke arahnya yang membungkuk-bungkuk pelan seperti semut yang kehilangan aroma.