Singgah

Tia Mariadi
Chapter #1

Pindah

"Fatiha Al-Kahfi Putriiiii, banguun...banguun...ayo cepet bangun!”

Perempuan paruh baya itu memanggil putrinya berkali-kali seraya menggoyang-goyangkan tubuh putrinya. Gadis itu menggeliat malas. 

“Aaa...ini masih gelap, buun. Tiha masih ngantuk” dengan mata yang masih terpejam gadis itu merengek dan menarik selimut yang berada dibawah lututnya lalu menutupi wajahnya. 

“Ih! Nih anak, disuruh bangun kok susah banget. Tihaa...ayo cepet bangun. Udah mau subuh. Ayo cepetan...bangun..bangun...Ini kan hari pertama kamu” Ibunya menarik-narik selimut Tiha sehingga terlihat wajahnya. 

Hari pertama? Apa maksudnya? Tiha membuka matanya dengan berat lalu terduduk dan menatap ibunya seraya mengucek-ucek matanya. 

“Hari pertama apaan sih bun?” 

“Ya elah...dia lupa! Hari pertama kamu kerja!”

Tiha ternganga. Ia menepuk dahinya berkali-kali. “Oh iya! Tiha lupa buun.”

“Heran...yang tua kan bunda, kok malah kamu sih yang lupa?!”

“Namanya juga lupa bun. Kalau yang bunda makan diem-diem di pojokan dapur kemaren, namanya lumpia” 

Ibunya tersenyum. “Ya udah cepetan mandi sana. Mau? Direbus sama abi?”

“Ih! Serrem! Tiha baru tau kalau abi setelah pensiun jadi debus” kekehnya lalu dengan cepat melompat dari tempat tidurnya.

Ibu Aisyah menggelengkan kepalanya lalu tersenyum lebar. “Tihaa...bunda tunggu di ruang sholat ya sayang?” teriak ibunya sebelum menutup pintu kamar putrinya.

“Oke, buun.” Teriak Tiha dari dalam kamar mandi. 

****  

Bengkalis – Provinsi Riau. Ya, dia kembali. Disini. Kota kelahiran ayahnya. Setelah pensiun, ayahnya memutuskan meninggalkan Jakarta dan kembali ke kampung halamannya. Ayahnya ingin menghabiskan masa-masa tuanya bersama kenangan masa kecilnya dirumah kakeknya kakek Tiha tercinta. Jadi ceritanya, rumah yang ditempati keluarganya saat ini adalah rumah warisan turun-temurun. Sempat mengalami beberapa kali renovasi dengan mengusung tema modern dan klasik ala-ala jaman kakek buyutnya.

Tiha dan kakaknya, Daffa merasa sedikit keberatan pada saat mendengar gagasan ayahnya ini. Karena Tiha dan Daffa sudah mendapatkan pekerjaan yang bagus saat tinggal di ibu kota. Daffa diterima di salah satu perusahaan yang bergerak dibidang periklanan dan Tiha telah bekerja di salah satu sekolah swasta di Jakarta. Mengingat kebersamaan keluarga adalah segalanya, Tiha dan Daffa dengan setengah hati mengundurkan diri dari pekerjaan masing-masing. 

Akhirnya, berkat doa dan rezeki anak-anak sholeh, mereka mendapatkan pekerjaan setelah berpindah ke kota ini. Tiha diterima sebagai guru bidang studi Bahasa Inggris di salah satu sekolah menengah umum swasta dan Daffa mendapatkan pekerjaan di salah satu bank swasta sebagai customer service.

“Good Luck adikku. Awas lo nanti dikecengin anak SMA!“ Daffa menarik kursi disebelahnya adiknya.

“Idiihh...ngasal ya ngomongnya!” sebuah pukulan mendarat dilengan kiri Daffa. 

“Aww! Sakit nyet!” seru Daffa seraya mengusap lengannya.

“Habisnya abang ngeselin! Hari ini kan hari pertama Tiha. Setidaknya berikan Tiha kata-kata yang memotivasi!”

“Baiklah. Dengerin ya, man jadda wa jadda!” ujar Daffa dengan semangat dan yakin lalu mengerdipkan matanya nakal. 

“Itu mulu? Nggak ada yang lain apa?” gerutu Tiha seraya menyesap tehnya.

“Justru itu. Selama kamu belum bisa ngerasain energi dan keberhasilan dari kalimat ini, abang akan bilang itu terus ke kamu”

“Oke! Siapa takut?! Tiha pasti bisa!” Tiha menatap Daffa dengan menantang sambil melahap nasi goreng buatan ibunya. Daffa tersenyum dan bangkit meraih tangan sang ibu lalu menciumnya.  

“Abang duluan ya bun,”

“Iya, hati-hati di jalan ya bang. Ketemu kodok jangan ditabrak sampe gepeng ya bang,”jawab ibunya polos.

“Yang kemaren nggak sengaja bun. Ntar deh, kalau ketemu mbahnya kodok, Daffa minta maaf” Tiha dan ibunya terkekeh geli mendengarkan ucapan Daffa barusan. 

“Assalamu’alaikum, bun”

“Wa’alaikumsalam” jawab ibu Aisyah seraya tersenyum saat melihat Daffa berjalan keluar. 

Tidak berapa lama setelah Daffa pergi, Tiha bangun dari duduknya. Dengan mulut yang masih penuh dengan nasi goreng, Tiha mengambil tas dan meraih tangan ibunya lalu menciumnya. 

“Bun, doakan Tiha ya? Semoga anak-anaknya baik, sekolahnya bagus, toiletnya bagus, dan gajinya besar!” kekehnya. 

“Ish! Kamu tuh ya. Maunya yang enak-enak aja! Nggak penting berapa gajinya. Yang penting hatinya. Tulus dan ikhlas dalam memberikan ilmu tanpa pandang bulu. Oke?” 

“Oooke bun. Dah bundaaa, I love you”

***  

Fatiha memarkirkan motor maticnya di tempat parkir dan berjalan menuju ke ruang kepala sekolah. Tiba-tiba ia mendengar suara nan indah menggetarkan hatinya, mengalun lembut melewati lorong yang dilaluinya. Suara itu terdengar samar-samar. Tiha mengerutkan keningnya lalu mengulum senyum. 

suara itu seperti magnet yang menarik Tiha untuk mendekatinya. 

Tiha berjalan mengikuti arah sumber suara itu. Suara yang terdengar semakin keras dan menyentuh hatinya. Tiha melangkah pelan mendekati sumber suara itu. Hingga akhirnya Tiha sampai pada sebuah pintu dan berdiri di ambang pintu. Dia terpaku menikmati keindahan suara tersebut. Di dalam ruangan itu, semua murid terpana mengamati seseorang di depannya. 

Yuulijul-laila fin –nahaari wa yuulijun-nahaaro fil-laiil, wa huwa ‘aliimum bizaatish-shuduur. (QS. Al-Hadid – 6) 

“Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. Dan Dia Maha Mengetahui segala isi hati.” ujar Tiha spontan lalu semua mata tertuju padanya. Lelaki itu meletakkan mushafnya di atas meja lalu mendekat. Ekspresi dan tatapannya tak terbaca. 

“Maaf, tamu harus melapor dulu ke bagian security.” ujarnya dingin. 

Security? Tiha bahkan tidak melihat seorang security pun di sini. Memang di dekat parkir ada sebuah pos security. Tapi tidak ada siapa-siapa di sana. 

Lelaki itu mengerutkan keningnya dan menatapnya curiga. Apa dia murid baru? Tapi kenapa pakaiannya seperti ini, rok panjang berwarna hitam dipadukan dengan kemeja batik berlengan panjang berwarna merah dan biru. Dan...dia memakai kerudung berwarna merah senada dengan kemejanya. Bukankah dia harus memakai seragam? Tubuhnya kecil, mungil, dan kurus. Mungkin dia murid pindahan yang dikatakan ibu Zulaikha tadi pagi. Batin Fathan dalam hati. 

“Ruangan kepala sekolah ada di sana. Kamu jalan lurus ke depan lalu belok kanan. Dan besok... jangan lupa pakai seragamnya!” 

“Saa....” Fatiha bahkan belum sempat bicara dan dengan cepat lelaki itu menutup pintu kelas. Tiha menggeram kesal, tangan dikepal dengan keras. Seragam? Yang benar saja. Tiha melihat tubuhnya dari atas ke bawah. Ah...pasti dia berpikiran kalau Fatiha murid baru atau murid pindahan.

Haiiish....dasar lelaki menyebalkan! 

Siapa sih dia? Kenapa sikapnya so’ so’an begitu? Lagaknya kayak yang punya sekolah aja! Dilihat dari caranya berbicara, dia lebih mirip monster. Tiha mengerucutkan bibirnya lalu berbalik melangkah menuju ke ruang kepala sekolah.

Lihat selengkapnya