Plakk! Sebuah tamparan keras meninggalkan memar merah di pipi laki-laki itu. Ini bukan pertama kalinya ia mengalami hal seperti ini.
“Kenapa kamu bolos? Ayo jawab! KENAPA KAMU BOLOS, RAYYAN ALHAKIMI?!” teriak laki-laki paruh baya di depannya.
“Nggak ada apa-apa. Males aja ke sekolah!” jawab sang putra.
Laki-laki paruh baya itu tertawa kesal.
Plakk! Sekali lagi laki-laki itu mendaratkan sebuah tamparan. Namun, putranya tidak membalas dan hanya membiarkan sang ayah meluapkan kemarahannya.
“Yan mau berhenti sekolah, yah. Yan mau cari kerja aja!”
“Kamu pikir cari kerja itu gampang hah?! Gunain nih kepala kamu, orang sarjana aja susah mau cari kerja apalagi yang ngga lulus SMA!”
“Tapi yan nggak mau sekolah yah!”
“Ayah nggak mau tau! Pokoknya kamu harus lulus SMA. Setelah itu kamu harus ambil S1 dan S2 di Singapura. Kamu itu satu-satunya anak ayah, yan! Jangan aneh-aneh kamu! Udah cukup ya yan, kamu mempermalukan ayah di depan teman-teman ayah karena ketenaran kejahilan dan begajulannya kamu sama teman-temanmu itu!”
“Terserah deh yah, pokoknya yan nggak mau sekolah!” Rayyan meninggalkan ayahnya di meja makan begitu saja.
“Rayyan!” langkah Rayyan terhenti seketika.
“Kalau kamu nggak mau ikuti kata ayah, ayah akan kirim orang-orang ayah untuk menghancurkan toko bundamu itu!” Rayyan menatap ayahnya dengan amarah yang kini tersirat di retinanya.
“Coba aja kalau berani! Rayyan patahin tulang mereka kalau mereka berani sentuh bunda dan tokonya!”
“Rayyan, ayah nggak bercanda!” teriak sang ayah. Rayyan kembali menoleh ayahnya dengan kesal.
“Iya, besok yan ke sekolah! Puas?!”
Rayyan melengos menuju ke kamarnya seraya mengepal kedua tangannya dengan erat.
****
Pagi-pagi sekali pak Rahmad sudah berdiri di ambang pintu ruang guru seraya mengamati keadaan sekolah. Wajahnya terlihat ceria. Senyuman selalu menghiasi wajahnya.
“Selamat pagi, ibu Tiha”
“Selamat pagi, pak Rahmad”
“Pagi sekali, pak?”
“Iya, hari ini saya masuk jam pertama. Bagaimana ibu Tiha, siap untuk hari ini?”
“Insyaallah pak. Saya usahakan yang terbaik.”
“Bagus itu. Insyaallah, dibalik kesulitan pasti akan ada kemudahannya” Ujarnya sambil berlalu keluar dari ruang guru. Tiha mengangguk setuju dan tersenyum.
Teng...teng...teng... Bel masuk pun berbunyi. Tiha memantapkan hatinya untuk melangkah ke kelas istimewa itu. Di tengah perjalanan menuju ke kelas, dia berbelok ke toilet guru. Kali ini toilet perempuan pastinya. Sebelum masuk ke toilet, dia sempat melirik ke kiri dan ke kanan.
“Oke. Aman! Hehehe” Tiha tertawa kecil. Gadis itu mematut diri di depan kaca.
“Tiha...semangat! Kamu pasti bisa! Jangan biarkan mereka mengalahkanmu! Allahu akhbar!” serunya setengah berteriak. Dia merapikan baju dan kerudungnya lalu bergegas ke kelas 2 IPS c.
Seperti biasa, mereka ribut sekali.
“Assalamu’alaikum semuanyaaa,” seru Tiha dengan suara yang sengaja di keraskan. Lagi, dan lagi. Mereka mengacuhkannya.
DaaRRR!
Eitss! Kali ini Tiha tidak membanting pintu kelas lagi. Tiha meletakkan buku latihan siswanya dengan keras di atas meja. Untung saja meja guru di kelas istimewa itu kuat dan sabar. Hehehe.
“Kalau bunda tau aku banting pintu kelas, banting buku di sekolah, tamat deh riwayatku. Bismillah, kali ini harus lebih baik dari yang kemaren!” Gumamnya dalam hati. Hening. Semuanya terdiam melihat sosok seorang guru yang bertubuh mungil itu.
“Perhatian....berdoa mulai,” seru ketua kelas, semua siswa menunduk.
“Berdoa selesai. Ucapkan salam”
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh” semuanya mengucapkan salam dengan keras.
“Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Baiklah anak-anak. Sekarang kita akan memulai pelajaran baru. Hari ini ibu akan....” Tiha terpaku seketika. Tiba-tiba ada tiga murid laki-laki yang terlambat dengan santainya melenggang masuk ke kelas.
“Ewaah...ewaaah...mereka pikir ini panggung Jakarta Fashion Week kali ya? seenaknya aja catwalk di depan kelas” batin Tiha dalam hati.
Mereka bertiga langsung duduk tanpa rasa bersalah sedikitpun.
“Randi, apa hukuman bagi siswa yang terlambat di sekolah ini?” Tiha melirik ke arah murid-murid tadi. Mereka bertiga bersikap acuh dan sibuk bermain ponsel.
“Dia harus didenda bu,” jawab Randi dengan singkat.
“Baiklah. Karena kalian terlambat, kalian didenda baca Al-Qur’an sebanyak dua lembar. Oh ya, simpan ponselnya. Di kelas saya tidak diperbolehkan menggunakan ponsel,” Ketiga murid laki-laki itu memandang sinis ke arah Tiha.
“Ayo ke depan, ini Al-Qur’annya. Terserah kalian mau baca surah yang mana,” Tiha meletakkan Al-Qur’an yang sering ia bawa di atas mejanya. Dengan ekspresi tak bersahabat, salah satu dari mereka bangkit dari duduknya.
Braaakk! dia mendorong kursi dan mejanya tanpa berkata sepatah kata pun.
Dia pergi meninggalkan kelas menuju ke arah kantin dan diikuti oleh kedua temannya.
Haiiissh! Untung saja anak orang. Kalau anak sendiri, mungkin jika Tiha khilaf, ia akan menarik telinga anak-anak itu dengan keras sampai memerah. Biarkan saja kalau mereka menangis. Biarkan saja mereka mengadu.
“Randi, mereka siapa?”
“Mereka gengnya Rayyan, bu”
“Rayyan?”
“Iya, yang tadi dorong meja, itu namanya Rayyan. Terus dibelakangnya ada Irwan dan Hendra.”
“Mereka sering bolos?”
“Lumayan, bu”
Tiha mengangguk pelan. “Baiklah, ayo kita lanjutkan pelajaran.”
****
Satu jam kemudian, bel memanggil para siswa-siswi untuk istirahat ke kantin.
“Alhamdulillah. Akhirnya selesai juga!” Tiha menyandarkan tubuhnya di kursi. Sejenak dia memejamkan matanya dan menghela napas panjang. Fiuuuh...
“Kenapa Tiha?” Tiha terperanjat saat ibu Malika menyapanya. Ibu Malika adalah guru biologi di sekolah ini. Dia sudah lama mengajar di sini. Hampir dua belas tahun.
“Eh ibu. Nggak ada apa-apa kok, bu. Kecapean aja”