Trrt... Trrrtt...Trrrt... Getaran ponsel membangunkannya. Tiha melirik layar ponsel dengan setengah sadar.
Hah? Fira? Ada apa Fira menelfon malam-malam?
“Hallo...assalamu’alaikum Fira. Ada apa? Malam-malam gangguin orang tidur aja” ucapnya dengan mata yang masih terpejam. Tiba-tiba suara riuh dan berisik terdengar.
“Tihaaaa...Kita di Pekanbaru sekarang!” teriak mereka berbarengan. Hmmm...Tidak salah lagi. Emak-emak millenial sudah berkoar, pemirsa.
“Kita sekarang di rumahnya mas Hadi sekarang. Ibunya mas Hadi baik banget. Baru datang aja nih ya, kita udah disuguhin banyak makanan” suara Fira terdengar riang.
“Tiha, lusa kamu jadi ke sini kan?” tanya Laras.
“Ngga janji deh ras. Aku belum izin sama ibu kepseknya” Tiha berusaha membuka matanya yang berat.
“Baiklah, ibu guru. Jangan lupa minta izin cuti sama kepseknya ya. Awas lho kalau ngga dateng!” ancam Laras.
“Iyaaa, baweeel.” Tiha tersenyum.
Telfonnya masih tersambung dan Tiha hanya mendengarkan sahabat-sahabatnya itu mengoceh tentang pengalaman pertama kali mereka ke Pekanbaru. Mereka begadang sampai tengah malam. Sesekali Tiha ikutan menjawab dengan jawaban ooh, begitu, yaa, hmm, terus... dan jawaban datar lainnya sehingga membuat Laras mulai kesal.
“Tiha, kok jawabnya kek gitu sih?!”
“Ngantuk ini ras, ngantuk! Lagian kamu sih, nelfon malam-malam begini. Sekarang udah pukul 12.45 malam. Kalian itu manusia atau kelelawar sih?! Udah tidur gih sana!” gerutu Tiha dengan mata yang masih terpejam.
“Yeeeaay...kamu nya aja yang ngga kuat begadang!” seru Nadine seraya terkekeh. Tiha tidak tahan lagi. Ia tertidur pulas dan ponselnya masih dalam genggamannya.
“Haloo....Tihaa..Tihaa....” panggil Fira beberapa kali. Yang terdengar hanya suara dengkuran.
“Yaaah...pasti udah tidur nih bocah!” seru Nadine. Fira dan Laras terkekeh geli.
“Good night Tihaa. Assalamu’alaikum” ucap Fira lirih sambil menutup telfonnya.
****
Trengggg! Apa itu?
Tiha terkejut lalu terbangun dan duduk di tempat tidurnya. Ia melirik jam di ponselnya. Pukul 2.00 am. Ah...mungkin kucing? Pikirnya lalu kembali membaringkan tubuhnya di tempat tidur.
Treeng! Suara itu kembali mengejutkannya. Masa iya kucing? Selama ini tidak ada satu kucing pun yang tersesat dan menginap di rumahnya.
Jangan-jangan? Jangan-jangan ada hantunya? Hiiii....serrem! Masa iya di rumah ini ada hantunya? Selama ini baik-baik aja. Tidak ada kejadian aneh sama sekali. Kenapa tiba-tiba ada suara benda jatuh? Jangan-jangan maling?! gumam Tiha dalam hati.
Tiha memberanikan diri bangun dan membuka pintu kamar. Ia menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Tidak ada siapa-siapa. Hanya kamar Daffa yang terlihat masih terang. Perlahan Tiha melangkah menghampiri kamar Daffa.
“Baang.....bang Daffaa...” ucapnya lirih. Tidak ada suara. Sepi. Mungkin Daffa tertidur dan lupa mematikan lampu kamarnya.
“Kerrrrkkkkkkk, Huuurrrrrrr....” terdengar suara aneh. Tiha mencoba mencari tahu dari mana datangnya suara itu. Ia berjalan perlahan menuju ke arah dapur.
Hah? Kamar gudang terbuka? Seingatnya tadi siang kamar gudang dikunci oleh abinya. Jantungnya berdetak lebih cepat. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Gudang itu terlihat gelap dan menyeramkan. Perasaannya tidak enak. Tiha mendekati pintu gudang dengan pelan-pelan.
“Abiii....bang Daffaa....” ucapnya lirih. Tidak ada jawaban. Tiba-tiba saja Fatiha merasa ada yang memanggil namanya lirih dari arah gudang itu.
“Haaa...Tihaa...Tiiihaaaa,kerrrkkkkKKKK,....Huuuhuhrrr...” sekilas ada bayangan putih-putih bergelantungan terlihat dari dalam gudang.
“Huaaaaa! Haaa...haantuuuu” Tiha berteriak keras, berlari masuk ke kamarnya. Ia mengunci pintu kamarnya. Detakan jantungnya terdengar cepat dan memburu. Tiha langsung menarik selimutnya dan memaksakan matanya untuk tetap terpejam dan akhirnya ia pun tertidur pulas.
****
Koper besar itu diletakkan di depan pintu kamarnya. Daffa akan ke Jakarta hari ini. Ada workshop yang harus ia ikuti di sana. Abi Kahfi dan bunda Aisyah menyantap mie goreng dan telor dadar. Sementara Daffa menyeruput kopinya yang masih panas sedikit demi sedikit. Tiha menarik kursi yang ada di depan Daffa. Mereka duduk berhadapan. Tiha menyesap tehnya lalu mengambil sekeping roti. Ia mengoleskan selai cokelat di permukaannya. Ketika mengoleskan selai cokelat, tatapannya sesekali tertuju ke arah gudang. Lalu ia terdiam sejenak menatap kamar gudang yang tertutup itu.
“Dek, selainya?” ucap Daffa. Tiha tidak menghiraukan panggilan Daffa.
Apa iya ada hantunya? Batin Tiha berbisik.
“Nyeeet! Kamu mau ngolesin selai cokelatnya sampe kapan?” seru Daffa dengan kesal.