“Pak, maaf saya duluan ya?” sahut Fathan ke pak Rahmad.
“Kok buru-buru pak Fathan ?
“Iya. Saya ada pekerjaan penting” Fathan berjalan melewati meja Tiha dengan ekspresi wajah yang tak terbaca. Ia menatap Fatiha sekilas.
Apa lihat-lihat? Mau ngajak berantem? Ayo sini, kalau berani! Dasar monster galak! Gerutu Tiha dalam hati.
Ponsel Tiha berdering. Ia langsung mengangkatnya dan tersenyum.
“Wa’alaikumsalaam. Hai buuun...” sambil memutar tubuhnya, Tiha menerima telepon dengan suara lirih.
“Tiha masih di sekolah, bun. Iyaa, sebentar lagi ya buun....iyaaa, maaf ya bun lupa... oke bun, Ya udah bunda tunggu di rumah ya, assalamu’alaikum...” Tiha melirik semua yang ada di ruang guru. Yang tertinggal hanya pak Rahmad, ibu Ranti, pak Rizki, dan ibu Malika. Ibu Ranti dan ibu Malika tersenyum sewaktu melihatnya menutup telepon. Tiha kembali memalingkan wajahnya ke layar laptop.
“Ibunya Tiha, ya?” tanya ibu Malika.
“Iyaa, bu. Saya lupa ada janji sama bunda belanja di swalayan” jawab Tiha sambil merapikan mejanya.
“Maaf, pak, bu... saya duluan ya, assalamu’alaikum”
“Oh ya..ya. Hati-hati dijalan, bu. Wa’alaikumsalam” sahut Pak Rahmad.
Tiha langsung meluncur pulang ke rumahnya. Setibanya di rumah, bunda Asiyah langsung menyiapkan makanan untuknya. Tiha istirahat sebentar selama 30 menit. Ketika jarum pendek di jam dinding kamarnya tepat di angka tiga, ia langsung mandi dan bersiap-siap menemani bundanya belanja ke swalayan.
“Udah siap?” bunda Aisyah masuk ke kamarnya.
“Bentar ya, bun...” Tiha memasang bros bergambar bunga mawar. Warnanya senada dengan kerudung yang ia kenakan.
“Yuk, berangkat!” seru bunda Aisyah.
“Oke, bun. Udah. Yuk!” Tiha tersenyum melirik kaca di depannya.
***
Di swalayan...
Tiha berjalan menuju bagian barang pecah belah sementara bundanya berbelanja barang dapur. Seorang lelaki berkaca mata mendorong troli yang penuh dengan barang belanjaanya. Lelaki itu menghentikan langkahnya ketika ponselnya berdering. Dari ponselnya terdengar suara perempuan muda menjelaskan barang-barang yang harus dibelinya. Dengan memegang daftar belanjaannya, lelaki itu kembali membacanya sambil berbicara di ponsel.
“Gula, minyak goreng, sabun liquid, garam, vanila essense, sayuran, beras, susu, roti, selai coklat, dan selai strawberry. Udah mas beli. Ada lagi?” ujarnya seraya memperhatikan sederetan deterjen yang ada di depannya.
“Oh iyaa. Deterjen jangan lupa ya, mas”
“Oke. Udah dulu ya, assalamu’alaikum. ” Lelaki itu menutup telfonnya dan mengambil deterjen yang ada di depannya. Lalu ia membuka sms yang baru masuk sambil mendorong trolinya ke depan.
BruuukkK! seorang wanita paruh baya terjatuh dan terduduk di lantai. Sontak Lelaki itu terkejut dan mendekati ibu paruh baya itu.
“Astaghfirullah.... maaf....maaf ibu. Saya tidak sengaja. Ibu ada yang sakit? Saya bawa ke rumah sakit ya?” laki-laki itu terlihat panik. Ia membantu merapikan barang belanjaan wanita paruh baya itu.
“Tidak apa-apa kok, nak. Lihatlah, tidak ada yang terluka kan?” wanita paruh baya itu tersenyum, berdiri dan merapikan pakaiannya.
“Beneran? Maaf ya ibu, saya benar-benar tidak sengaja.” wanita paruh baya itu tersenyum dan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Lalu wanita paruh baya itu berpamitan pergi. Laki-laki itu masih merasa sangat bersalah. Dari kejauhan ia masih melihat ibu paruh baya tadi berbelanja. Setelah memastikan semuanya baik-baik saja, ia segera beranjak pergi.
Tiha mendekati kounter pembayaran. Ia terperangah ketika melihat sosok laki-laki yang tak asing baginya.
Ya Allah. Ya Rabbii. Kenapa monster galak itu bisa ada di sini? Heran deh. Kemana-mana ketemu dia mulu. Hush...hush....cepetan pergi sana!
Tiha berada dalam barisan kounter pembayaran bersebelahan dengan Fathan. Ia menutupi wajahnya dengan kerudungnya sambil meletakkan barang belanjaannya di meja kasir. Bunda Aisyah masih berada di lantai atas. Tiha akan menunggunya di tempat parkir. Sekilas Fathan menoleh ke arah gadis itu lalu mengerutkan keningnya yang tebal. Setelah Fathan pergi, Tiha mendesah nafas panjang. Fiuuh...akhirnya pergi juga.
Tak lama kemudian, bunda Aisyah keluar. Tiha menjilat es krimnya sembari memasang wajah manyun.
“Bunda nggak punya pikiran buat nginep semalaman di swalayan, kan?”
“Ya ngga lah. Biasa ibu-ibu, cuci mata bentar. Hehehe. Tihaa... tadi bunda ketemu anak cowok seumuran kamu lo, dia pake kaca mata. Ganteng banget. Terus nih ya, belanjaannya banyak. Tadi dia nggak sengaja nabrak bunda. Cakep anaknya. Sayang, bunda udah tua” cerocos bunda.
“Idih! Bunda genit ah. Ingat buun, di rumah ada abi loh?”
“Husssh! Kamu tuh ya, kan bunda cuma bercanda. Satu-satunya di hati bunda ya, abi kamulah. Bunda pikir kayaknya dia cocok deh sama kamu” bunda Aisyah mengernyitkan matanya. Tiha terbatuk-batuk dan sambil menelan ludah dengan susah.
“Heh? Bun...Tiha belum siap nikah. Bang Daffa aja duluan. Kan ngga baik melangkahi bang Daffa. Lagian bunda, entah siapa pun itu yang pake kaca mata, mau pake kemeja, pake celana, pake acara jodoh-jodohin aja. Kalau dia udah punya istri, gimana?”