Ujian semester akan dimulai pada hari Senin, maka hari ini, hari Sabtu menjadi hari bersih-bersih sekolah, pemirsa. Seluruh warga yang ada di sekolah ini akan bergotong royong membersihkan setiap sudut sekolah. Siswa-siswi mulai bergotong royong bahkan semua guru juga ikut turun tangan mengarahkan, mengawasi, dan membantu siswa membersihkan setiap sudut sekolah. Pak Rahmat dan pak Anwar terlihat sedang membersihkan koridor kelas satu bersama para siswa.
“Ibu Tiha!” sahut pak Fathan dari kejauhan. Tiha dan ibu Anna yang sedang membersihkan selokan di depan kelas 2 Ips 1 menoleh ke arah suara itu secara bersamaan. Mata Tiha membulat saat melihat sosok yang tak asing berjalan menuju ke arahnya.
Waduh! Kenapa monster itu ke sini? Haissh! Awas saja kalau dia bersikap seenaknya! Batin Tiha seraya menyapu sampah di depannya.
“Iya,” Tiha melemparkan senyuman manis dengan terpaksa.
“Saya mau minta tolong ibu dan siswa dari kelas 2 Ips c untuk memindahkan beberapa kursi dan meja yang rusak di kelas mereka ke gudang,” seru pak Fathan.
“Gudang? Sekarang pak?” Tiha malah balik bertanya tanpa berpikir akan mendapat serangan nuklir dari Fathan.
“Ngga, tahun depan! Ya iyalah sekarang!” seru Fathan dengan ketus. Fathan pergi meninggalkannya dan ibu Anna. Tiha mengikuti langkah Fathan diam-diam dari belakang. Rasanya ingin sekali dia memukul kepala Fathan dengan penyapu yang ia pegang biar amnesia. Eh, dia malah berbalik arah.
“Kenapa?” katanya sambil mengerutkan dahinya.
“Ngga ada apa-apa” jawab Tiha polos dan seadanya. Dia merasa sangat kesal. Ibu Anna yang melihatnya saat itu, terkekeh geli dan menggeleng kepala. Fathan mengayunkan langkah dan berlalu pergi.
“Tiha, sepertinya kalian cocok ya? Kenapa tidak menikah sama pak Fathan saja? Kan sama-sama single” celetuk ibu Anna.
“Ogah! Amit-amit deh bu, monster seperti dia mau dijadikan suami? Nggak ah. Terima kasih. Untuk orang lain saja. Lagian pak Fathan galak amat ya, bu? Padahalkan saya nanyanya baik-baik. Eh jawabannya menyakiti hati. Sakitnya tuh disini..disini..dan disini, bu” jelas Tiha panjang lebar seraya menunjuk ke arah kepala, dada, dan kakinya.
“Tapi kalau dengan guru perempuan lain, dia tidak seperti itu. Orangnya baik. Mungkin karna kalian belum lama kenalnya atau jangan-jangan dia suka sama ibu kali,” ledek ibu Anna sambil tersenyum lebar. Tiha membalasnya dengan senyuman masam.
Tiha mengajak Zahra, Nina, Budi, dan Haikal, untuk memindahkan kursi dan meja yang rusak ke gudang. Ya. mereka mau tapi harus dengan sedikit paksaan. Kalau bukan karena disuruh Fathan a.k.a monster galak itu, mana mau Tiha ke tempat horor ini. Perasaannya mulai tidak enak saat melihat gudang itu. Ia meminta tolong Zahra, Nina, Budi, dan Haikal memasukkan meja dan kursi.
“Tolong disusun yang rapi ya, Bud” Tiha memperhatikan anak-anak menyusun kursi.
Budi terlihat kesal saat merapikan kursi yang dibawanya.
“Saya mau mengambil kursi yang lainnya, bu” Haikal keluar gudang bersama Budi.
“Oh iya” Tiha membantu Zahra dan Nina merapikan meja yang rusak di gudang.
Tiba-tiba...krek, bruukk!
Ada yang menolak pintu gudang dengan keras dan menguncinya. Tiha kaget dan mulai panik.
“Eh siapa itu diluar? Buka pintunya!” teriak Tiha dengan keras.
Dari luar tidak terdengar suara apa pun. Budi dan Haikal telah pergi meninggalkan mereka.
“Buka pintunyaaaa! Budiiii...Haykaaaal....Tolooong....siapa pun itu, tolong buka kan pintunyaa!” teriak Zahra. Suasana di gudang gelap, pengap dan berdebu.
“Bu, Nina takuut” Nina memegang lengan kanan Tiha dengan kencang.
“Bagaimana sekarang bu?” Zahra yang berusaha tenang sedari tadi. Tapi raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran.
“Tenang dulu ya, gudang ini letaknya di belakang sekolah. Jauh dari kelas. Ayo kita gedor saja terus pintunya dan berteriak. Mudah-mudahan ada yang lewat dan mendengar” ujar Tiha berusaha menenangkan Nina dan Zahra. Kalau saja mereka tahu, saat ini perasaannya campur aduk.
Ya tuhaaan...bantulah hambamu ini. Jangan sampai asmaku kambuh dalam keadaan seperti ini. Tiha menggumam dalam hati.
***
Ajang gotong royong dan membersihkan setiap sudut sekolah selesai. Ibu Zulaikha mengumpulkan semua siswa-siswi dan majelis guru di lapangan. Ibu Zulaikha memberi pengarahan kepada majelis guru dan siswa untuk beristirahat selama satu jam. Setelah itu, siswa-siswi harus mengambil kartu ujiannya.
Fathan memandangi semua siswa ke segala arah, termasuk barisan majelis guru. Ia menyadari ada sesuatu yang hilang. Ia tidak menemukan sosok Tiha, Nina dan Zahra.
Fathan berlari menuju ke ruang guru untuk menemui ibu Anna. Karna terakhir kali dia melihat Tiha bersama ibu Anna.
“Ibu Anna tadi bersama ibu Tiha kan?” tanya Fathan sambil mengatur nafasnya yang terengah-engah.
“Iya. Tapi kan tadi bapak minta tolong ibu Tiha dan anak-anak merapikan meja dan kursi yang rusak di gudang? Mungkin mereka masih disana”
“Gudang?” tanya Fathan memastikan. Ibu Anna mengangguk cepat.
Bagaimana dia bisa lupa? Entah kenapa saat ini rasa khawatir Fathan membuncah. Ia berlari menuju ke gudang.
Tiha sudah mulai berkeringat. Rima nafasnya tidak beraturan. Ia mulai merasa pusing dan detak jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya.
“Asmaku kambuh lagi. Gawat. Aku bisa mati di gudang nih. Toloong...Toloong...Abii! Bang Daffaa!Tiha udah mau meninggal nih. Aaaaaa...Abiiiii....Tiha ngga mau meninggal di gudaaaang” rengek Tiha tidak karuan dalam hati.
“Ibu...Ibu Tiha baik-baik aja, kan?” tanya Zahra mulai khawatir. Tiha terkulai lemas di lantai. Zahra memangkunya. Tiha bisa mendengar suara Zahra dan Nina tapi terlalu sulit untuk bicara.