"Woiiii!” seru Daffa sambil meletakkan buah-buahan dan kebab kesukaan Tiha.
“Haiiissh! Bang Daffaa! Ngagetin Tiha tau nggak?” geram Tiha melirik Daffa dengan sinis.
“Yeeeeayy....Abang tuh udah ngucapin salam dari tadi, eh malah nggak dijawab-jawab. Kamu kenapa sih nyet?” Daffa menarik kursi di dekat tempat tidur Tiha.
“Bang, masa ya, tadi ada yang ngelamar Tiha di rumah sakit,” ujar Tiha polos.
“Jiaaaaaah, hebat kamu nyet! Baru sehari tinggal di rumah sakit, udah ada yang ngelamar aja. Siapa?”
“Dia....”
Srrreeeettt! Tiha dan Daffa terkejut ketika seseorang membuka tirai di dekat tempat tidurnya.
“Ibu Tihaa....” suara yang tak asing menyapa Tiha dengan ramah.
Tiha tersenyum senang lalu diikuti Daffa.
“Eh, Rayyan. Kamu gimana keadaannya?”
“Alhamdulillah, udah baikan,”
“Alhamdulillah bagus deh. Tetap semangaat yaa,”
“Insyaallah. Terima kasih, bu. Ibu kok bisa masuk rumah sakit?”
“Iya, tadi siang asma ibu kambuh. Oh iya, kenalin ini kakaknya ibu Tiha. Namanya Daffa. Bang, ini Rayyan yang Tiha ceritain di rumah waktu itu,”
“Hai Rayyan. Salam kenal. Semoga cepat sembuh yaa,” sahut Daffa ramah.
“Hai bang Daffa. Aamiin, insyaallah. Terima kasih. Rayyan boleh manggil bang Daffa kan?”
Tiha dan Daffa terkekeh geli. “Ya bolehlah, abang juga masih muda kok. Belum pantes dipanggil bapak-bapak” Daffa mengangkat keningnya.
“Bunda Lydia belum datang ya, yan?” tanya Tiha.
“Tadi setelah maghrib, bunda datang mengantarkan makanan. Bunda mau nginep, tapi Rayyan minta bunda tidur di rumah aja. Kasihan bunda bisa sakit kalau tidur di sini terus,”
Tiha tersenyum. “Baik sekali kamu.”
Rayyan mengulum senyum. “Bang Daffa nginep disini kan?”
“Maunya sih, begitu. Tapi males ah. Ntar ibu guru mu ini, ngerepotin abang mulu.” Rayyan terkekeh geli,
“Ooh, gitu yaaa. Ya udah pulang sana!” Tiha memasang wajah cemberutnya.
“Maaaaf banget ya nyet. Abang ngga bisa nemenin kamu di sini. Abang besok harus berangkat kantor pagi, lagi dikejar deadline. Jadi malam ini abang pengen istirahat di rumah. Abang minta tolong mbak Kila ya buat nemenin kamu di sini? atau kamu mau ditemenin bunda?”
“Hah? Bunda tau, bang?”
“Iya, bunda punya insting nggak enak sama kamu, nyet. Makanya abang bilang asma kamu kambuh. Abang juga bilang, kalau kamu baik-baik aja. Jadi gimana? Mau ditemenin bunda atau mbak Kila?”
“Nggak apa-apa deh, Tiha sendirian di sini. Disini juga banyak perawatnya kan,”
“Beneran?” tanya Daffa memastikan.
Tiha mengangguk pelan lalu mengulum senyum.
“Tenang aja bang Daffa, ibu Tiha nggak sendirian. Rayyan kan masih di sini,”
“Iya ya. Lucu ya kalian berdua, anak murid sama gurunya, sama-sama dirawat di ruangan yang sama,” mereka bertiga terkekeh geli mendengar ucapan Daffa.
“Ini namanya takdir bang Daffa, mungkin ada hikmahnya dibalik semua ini”
“Nah, bener banget tuh. Yang kuat dan sabar ya, bro”
“Yoi, bro. Thanks ya, bro.” sahuut Rayyan seraya bertos ria dengan Daffa.
Tiha sangat senang melihat perubahan yang terjadi pada diri Rayyan. Rayyan benar-benar berubah sekarang. Wajahnya terlihat ceria namun ia tahu, pemuda itu berusaha menjauhkan air mata dari sudut matanya. Berusaha kuat dan sabar meski hatinya menyimpan luka. Rayyan yang berada disampingnya kini bukan lagi Rayyan yang menatapnya dengan tatapan yang kesal dan meninggikan suara kepada guru-gurunya di sekolah. Tapi Rayyan yang sekarang adalah pemuda tangguh yang ramah, senang tertawa, dan tetap semangat dalam menjalani perawatannya. Daffa dan Rayyan terlihat semakin akrab. Mereka suka bermain teka-teki dan suka bercanda. Sementara Tiha hanya menikmati kebahagiaan di depan matanya, mendengarkan lelucon dan cerita menarik dari mereka berdua.