....
Kaki panjang beralaskan sepatu kets berwarna putih itu bergesekan dengan dedaunan kering diatas tanah. Rambut panjang yang terurai hingga ke wajah tak mampu menutupi kedua sorot mata penuh ketakutan. Dengan pencahayaan dari rembulan yang tertutup awan gelap itu, sesekali Seila memandang ke belakang untuk memastikan jika sosok yang semenjak beberapa waktu lalu mengikutinya itu segera pergi. Seila jatuh tersungkur kala dirinya tak memperhatikan jalanan didepannya. Pohon kecil yang tumbang itu membuat kaki Seila kini terasa perih dan nyut-nyutan. Ketika dilihat, celana jeans panjangnya sudah sobek dan meninggalkan bekas luka akibat tergores dahan ranting cukup tajam. Seketika Seila tersentak kala mendengar suara-suara itu kembali menggetarkan jiwanya yang ketakutan. Seila mencoba bangkit dan terus berlari kemanapun ia bisa pergi. Setidaknya, ia tidak bertemu dengan makhluk itu lagi.
"Seila...."
Suara itu. Seila menemukan Nadin tak berada jauh didepannya. Gaun biru yang sebelumnya terlihat cantik terlihat kusut dan kotor. Rambut Nadin yang biasa tertata rapi dengan segala bentuk ikatan juga tak lagi beraturan. Bagian tubuh dan wajah Nadin sudah banyak mendapatkan luka goresan hingga mengeluarkan darah.
"Nadin??!" seru Seila.
Belum sempat Seila melangkah jauh mendekati Nadin, seketika tubuhnya membeku ditempat tatkala melihat sosok itu berdiri tepat dibelakang Nadin. Entah bagiamana tubuh Nadin terbang keatas setinggi dua meter, lalu dihempaskan berkali-kali ke tanah. Nadin yang berteriak kesakitan dan meminta tolong itu pun kian melemahkan suara. Seila yang melihat hal itu membungkam mulutnya sendiri. Airmata mengalir deras melihat bagaimana sahabatnya itu dihempaskan begitu keras hingga tak berkutik. Nadin menatap mata Seila. Mencoba mengulurkan tangan dengan harapan Seila dapat segera membawanya pergi. Namun, ranting pohon yang diambil oleh makhluk perempuan bergaun merah itu seketika dihunuskan pada punggung Nadin yang membuat darah segar seketika mengucur deras.
"Nadin!!!"
"Nadin....." lirih Seila yang seketika itu membuka kedua matanya yang terpejam. Pipinya sudah basah akibat airmata. Mimpi yang dialaminya terasa begitu nyata hingga tak sadar bahwa semua itu hanyalah mimpi belaka.
Seila mengambil posisi duduk. Memegangi kepalanya yang terasa pening dan berat. Disatu sisi, Seila merasa tenang bahwa semua itu hanya mimpi.
....
Seila yang sudah berdandan rapi seketika merasakan suasana hatinya menjadi buruk tatkala melihat pria paruh baya dengan setelan jas keluaran merek ternama duduk disalah satu kursi diruang makan.
"Siang Seila!" sapa pria paruh baya itu.
"Selamat siang sayang!" sapa Ibunya yang barusaja menaruh lauk diatas meja makan.
Tanpa niatan menjawab, Seila duduk disalah satu kursi yang kosong.
Reta ikut bergabung dimeja makan. Beralih tugas mengambilkan nasi ke atas piring milik Seila dan Martin, baru kemudian miliknya. Diantara banyaknya lauk yang tersedia dimeja makan, Seila hanya mengambil ayam goreng bumbu bawang.
"Cuma ayam? Sama sayur dong, La," ucap Reta.
"Enggak. Seila lagi nggak napsu," ucap Seila.
"Kenapa? Kamu lagi sakit?" ucap Reta.
"Enggak," jawab Seila.
"Oh iya, nanti kamu ke kampus biar dianter sama Om Martin, ya?" ucap Reta.
"Nggak perlu, Ma! Seila bisa sendiri," ucap Seila.
"Enggak apa-apa, La! Saya sekalian mau pergi menemui klien. Lagipula satu arah. Bukannya lebih baik biar Saya sekalian antar kamu?" ucap Martin.
"Terserah," ucap Seila.
Martin dan Reta saling melempar senyum.
....
"Hati-hati, ya, Mas! Nggak usah ngebut," ucap Reta.
Seolah melihat drama di siang bolong, Seila bergegas masuk kedalam mobil. Tepatnya dikursi belakang.
"Perlahan pasti Seila akan mengerti. Maaf, ya, kalau sikap Seila mungkin sudah banyak menyakiti perasaan kamu," ucap Reta.
"Tidak masalah. Lagipula, aku mengerti alasan Seila bersikap demikian. Kalau begitu, aku pergi dulu!" ucap Martin.
"Iya, Mas! Hati-hati!"
Mobil yang dikendarai Martin pergi meninggalkan kediaman Reta.
Selama perjalanan menuju kampus Seila, tidak ada percakapan apapun. Seila sibuk berkutat dengan ponsel ditangan tatkala Martin memperhatikannya dari kaca spion.
"Nanti pulang kuliah biar Om jemput, ya?" tanya Martin.
"Nggak perlu. Seila bisa sendiri," ucap Seila.
"Gimana kehidupan kampus kamu? Seru? Dulu waktu jamannya Om, Om banyak pergi bareng teman-teman Om ke tempat baru. Lebih tepatnya untuk melakukan pendakian. Kalau dihitung-hitung, mungkin Om sudah mendaki sekitar tiga puluh gunung yang ada di Indonesia semenjak Om masih SMA," ucap Martin.
Seila bungkam. Seolah apa yang barusaja ia dengar hanyalah angin lalu.
"Gunung Pakuan adalah satu-satunya gunung dengan pengalaman paling menantang yang pernah Om dan teman-teman Om lalui. Waktu itu Om mendaki di tahun 2003. Gunung Pakuan terkenal dengan kejadian-kejadian janggal yang dialami oleh para pendaki. Siapapun yang pergi mendaki ke gunung itu, seakan ia telah telah siap jika mungkin tak pernah bisa kembali," ucap Martin.
Walau kedua bola mata Seila menatap layar ponsel, namun pendengarannya sangat tertarik akan pembicaraan Martin. Semenjak dulu, Seila sebenarnya sangat ingin sekali pergi mendaki. Tatkala teman-teman SMA-nya dulu mengajaknya untuk mendaki, Seila tak pernah mendapatkan izin dari Ibunya. Karena bagi Reta, mendaki adalah hal yang sama sekali tidak penting dan hanya menghabiskan waktu dan tenaga saja. Beberapa kali Seila mendapatkan ajakan untuk mendaki, Seila selalu menolak karena tak pernah mendapatkan restu.
"Kamu suka mendaki, La?" tanya Martin.
"Enggak. Lagipula buat apa. Mama juga nggak pernah izinin Seila buat pergi ke tempat-tempat kayak gitu," ucap Seila yang kemudian melempar pandangan ke luar jendela.
"Kenapa?" tanya Martin.
Seila hanya diam. Sama sekali tidak ada niatan untuk menjawab pertanyaan itu.
"Tidak apa-apa kalau kamu tidak ingin cerita. Om bisa mengerti," ucap Martin.