Singgah di Andromeda

Evelyn Gabriella
Chapter #9

Si Pria Gila

Hujan mulai mengguyur jalanan kota. Rinainya mendesau berisik bersama dengan ranting pohon yang menampar jendela. 

Hujan di Negeri Pimedus sangat anti mainstream. Rinai beningnya digantikan oleh rinai kristal merah menyala dengan empat sudut tumpul membentuk belah ketupat. Tiap kali ditimpa cahaya rembulan, pasti akan berkilat elok nan rupawan. Konon katanya, kristal ini merupakan bahan amunisi rahasia tentara perang Negeri Pimedus. Walau bentuk rinainya berbeda, aroma petrikor masih saja mencuri kesempatan untuk merasuk indra penciuman. Aroma yang sama seperti hujan di bumi.

Dengan telaten, Kirana memungut satu per satu kristal yang berguguran di teras depan rumah Hans. Warna merahnya yang apik merona bak batu ruby, tak dapat ditolak Kirana.

Sedangkan, di dalam markas rahasia, ditemani api unggun yang menyala dan hidangan di atas meja, mereka mulai berdiskusi rencana selanjutnya.

"Tidak bisa. Aku harus menyelamatkan Hans. Dia pasti menemui masalah," Alva mengambil pedangnya dan disarungkan kembali.

Sudah satu jam mereka menunggu cemas berharap-harap semu. Banyak kemungkinan negatif yang menambah warna kelabu.

"Jika kau pergi sekarang, siapa yang akan memimpin rencana? Jika kau juga tertangkap, misi kita akan jadi lebih berat," nada Kirana tegas.

"Tapi aku tak bisa berpangku tangan dan membiarkan temanku mati begitu saja. Kirana, kau mengerti, kehilangan Arya sudah teramat berat buatku. Aku tak ingin kehilangan lagi," kedua tangan Alva menempel pada pundak Kirana.

Tatapan mereka saling beradu, semakin dalam memendam makna tersirat. Dari antar hati, sedang berkuasa sejuta afeksi di antara dua sejoli.

"Ksatria Alva, walaupun kita adalah prajurit rahasia lama, kita tak pernah membuat keputusan sendiri dalam suatu misi. Kita butuh seorang pemimpin untuk memutuskan. Mohon ksatria Alva berkenan memimpin!" kepala prajurit berlutut sambil memberi hormat.

"Mohon ksatria Alva berkenan memimpin!" sambung semua prajurit kompak dengan sikap berlutut.

Pilihan dihadapkan depan muka. Alva meremas rambut frustasi karenanya. Antara misi dan temannya, itu semua penting baginya.

"Alva memang akan memimpin kalian," sebuah suara menyelinap dalam diskusi, memecah ketegangan.

Ketika Alva menoleh pada sumber suara, rasa cemas terhempas seketika.

"Hans!" wajah Alva berubah sumringah.

Surai cokelatnya basah, beberapa sayat luka berdiam diri di kulit tubuhnya. Sayapnya yang dulu seputih bulu domba kini nian kelabu. Ia terus bermuram durja dengan senyum miring sedikit dipaksakan.

"Ada apa? Di mana raja? Apa dia selamat?" Alva kembali haus info sambil menepuk pundak kawannya.

"Aw," keluh kesakitan terloncat keluar dari mulutnya.

Kerutan dahi Alva semakin dalam. Ada yang tak beres dari kawannya.

Tanpa permisi, Alva segera menyingkap jubah yang menutup tubuh kawannya. Mulutnya langsung membulat sempurna bak ikan koi ketika melihat banyak tatu menghiasi tubuh Hans.

"Maafkan aku. Aku memang payah, tak berguna, tak pantas jadi kepala prajurit," Hans mengambil napas berat, bahunya merosot seiring harapannya meredup.

"Kau ada cedera serius yang bahkan belum kau obati. Sudah, jangan terlalu menyalahkan dirimu. Tak semua beban di dunia harus kau pikul sendiri di atas pundakmu," seorang prajurit sepuh di pojok ruangan menginterupsi dengan bertopang kaki.

Sebagian wajahnya ditutupi rambut perak yang terurai berantakan. Dengan penerangan api tungku, terukirlah seulas senyum di bibir retak-retak sosok misterius itu.

"Siapa kamu?" tangan Hans terulur untuk menyibak rambutnya.

Lihat selengkapnya