Pagi mengetuk pintu berulang kali. Melongok dari balik jendela, menyusup bagai maling yang mengendap-endap dalam kesunyian.
Matahari pun mulai menghamburkan sinarnya ke celah-celah permukaan bumi.
"Waktunya tiba," Alva bermonolog.
Ditemani beberapa prajurit, Alva memasang jebakan di beberapa tempat yang akan dilalui diabhal.
Di jalan menuju Hutan Ambers, ditaruhnya tumpukan jerami juga kayu fiwud yang digadang-gadang dapat membumihanguskan apapun ketika tersulut api. Beberapa peledak dipasang di bawah tanah juga gorong-gorong.
Di sekitar hutan Alva juga memasang radar cahaya untuk mengetahui pergerakan musuh.
Sedangkan di markas, Kirana bersama Si Pria Gila sibuk membuat senjata perang dengan kristal sisa hujan kemarin. Mereka menjadikan kristal merah itu amunisi untuk membuat granat juga banyak senapan perang.
"Mengapa tidak kita bakar saja Hutan Ambers? Dengan begitu, misi kita jadi lebih mudah," celetuk Kirana saat merebus kristal merah yang nantinya diproses menjadi amunisi.
"Walaupun hutan itu seram dan terpencil, tapi di dalamnya tersimpan sebuah kekuatan luar biasa yang mendukung kehidupan negeri ini," jelas kakek tua.
"Mungkin, diabhal ingin menemukan kekuatan rahasia di hutan. Itu sebabnya markas mereka didirikan di sana," Kirana berpraduga.
Ketika Kirana sibuk berkutat dengan pikirannya sendiri, terdengar derit pintu yang memekakan telinga. Seluruh pandangan mata tertuju pada Alva bersama sepasukan prajurit yang terluka. Juga seorang bawahan diabhal yang berhasil mereka tangkap.
"Ada penyergapan di hutan. Situasinya sangat berbahaya. Untungnya, kami semua dapat selamat meski sedikit terluka," seorang prajurit melapor dengan segores luka menghiasi keningnya.
Alis Alva mengerut ke pangkal hidung, menyiratkan garis urat di pelipis. Saraf otaknya memerintahkan otot-otot bisep untuk bekerja, membanting bawahan diabhal ke lantai.
"Katakan semua rencana diabhal atau nyawamu yang akan melayang!" Alva mengancam dengan gigi saling menekan, sangat geram.
Bukannya takut, bawahan diabhal malah tergelitik dengan ancaman Alva. Ia tertawa seraya memegangi perutnya.
"Tuan diabhal dan Master benar. Kalian hanyalah orang lemah! Semua jebakan yang kalian pasang, sudah dimusnahkan oleh diabhal. Dan saat bulan purnama tengah malam, kekuatan diabhal akan berlipat ganda. Tenang saja, kematian kalian tak akan lama," setelah berucap demikian ia menggigit lidahnya sendiri. Napasnya pun terputus seketika itu bersama dengan arwahnya yang melayang.
Hans menuntun kakinya menuruni tangga satu per satu dengan perlahan. Langkahnya tertatih, ditambah kepalanya yang masih terasa berputar-putar membuatnya nian letih.
Telinganya tak tahan mendengar keributan di lantai bawah, apalagi dengan sumpah serapah yang dilantunkan terus menerus dari mulut para prajurit lama.
"Kenapa kau di sini? Harusnya kau tidur karena pengaruh obat yang kuberikan semalam," Alva keceplosan kala melihat Hans terhuyung di depannya. Ia segera membekap mulutnya sendiri.
"Sudah kuduga kau akan memberiku obat tidur. Maka, aku memuntahkan kembali obat yang kau beri semalam," tutur Hans dengan bibir merekah.
"Jadi, bagaimana rencana kalian?" sambung Hans dengan netra terpaku pada peta.
Alva tak segan menarik kerah baju kawannya, walau Hans lebih tinggi darinya.
"Tolong, jangan turun tangan dan jangan bertindak impulsif. Aku tak bisa menangani lebih banyak masalah lagi."
Di tengah rasa frustasi yang berputar dalam kepala, ada laporan berita datang dari mata-mata rahasia.
"Lapor, ditemukan dua prajurit tewas. Satu di dalam saluran air bawah tanah. Satunya lagi ditemukan dekat gudang tua," begitulah aksara yang tergores kasat mata dalam secarik kertas.