Sekelebat memori tentang Arya yang meninggal di hadapannya disampaikan oleh sarafnya pada setiap indera. Juga Kirana, batinnya bergejolak mengingat sang guru harus meregang nyawa di tangan orang itu. Ya, pemimpin diabhal yang dijuluki sang penguasa kegelapan.
"Bagus, kau datang sendiri meminta kematianmu," pedang Kirana melesat keluar tanpa ragu.
Alva sontak sedikit mencengkram lengan gadis itu.
"Jangan ceroboh, mungkin ada jebakan."
Kirana menggigit bibir bawahnya, menahan sumpah serapah yang akan tergelincir dari ujung lidahnya.
Pria itu tertawa sinis lantas mendengkus keras. Jemari dengan kuku panjang runcing di ujungnya lagi-lagi menari lentik di udara. Sebuah bola kristal hijau tercipta, mengambang di udara. Dinding bola kristal yang transparan menampilkan sang raja sedang tak sadarkan diri di dalamnya.
"Jadi ini raja kalian. Raja yang lemah, putus asa, dan dungu. Sudikah kalian mengabdi padanya? Ia tak lebih baik dari sampah," ia mulai menggeram marah.
Kirana mengetatkan genggaman pedang hingga buku jarinya memutih. Ia sudah gatal ingin menghabisi monster itu.
Tak dapat menahan hasratnya, tungkainya berlari dengan pedang bersemayam di tangan. Berjarak beberapa meter dari monster, Kirana dengan sigap mengambil vas bunga dari dalam tas dan menghantamkannya ke indera penglihatan sang pemimpin.
Darah mengalir deras dari bola matanya. Debit cairan merah bertambah cepat, tapi tak ada jerit sakit yang terucap. Serpihan kaca menancap dalam tepat di iris matanya.
Seberkas cahaya hijau bersinar di balik pori-pori kulitnya, membalut luka dan serpihan kaca yang masih menancap di matanya. Tak lama, matanya pulih seperti semula.
Penguasa kegelapan tak undur. Dengan jurus andalannya, ia menggandakan dirinya menjadi ratusan, salinan identik pemimpin mulai mengelilingi kedua bocah itu.
"Hey, dimana kawanmu yang lain? Kudengar ia terkena Zieltyn Poison kan?" sang pemimpin mulai memanas-manasi. Suaranya terdengar saling menyahut antar ilusi, entah mana pemimpin yang asli.
Sesaat setelah mendengarnya, peredaran Alva bergejolak hebat. Ia mengucap sumpah serapah secara repetitif dalam batinnya.
Kepalan tangannya semakin kuat. Cahaya yang berkobar semakin panas, lantas ia meninju ke depan. Bom cahaya beruntun yang dilepaskan hanya mengenai salinan identik pemimpin, bukan tubuh pemimpin yang asli.
"Oh rupanya dia tak hadir. Benar-benar seorang pengecut!" cacinya lagi sambil meludah.
Alva meradang, kedua matanya mendelik tajam. Hatinya panas mendengar sahabatnya dihina.
Cyaattt!
Alva menolakkan kaki, menjejaki tangga untuk membuat posisinya sedikit lebih tinggi dari sang pemimpin. Di anak tangga terakhir, ia terjun dari pegangan tangga sambil menghantamkan kepalan tangan bercahaya. Pukulannya ke lantai istana berhasil membuat lubang sedalam tiga meter. Sayang, pukulannya belum mengenai pemimpin yang asli.
Tangan Alva refleks diayunkan ke arah bola kristal yang menawan raja. Pedangnya diarahkan ke sembarang arah untuk memecah bola kristal itu. Ia berkonsentrasi, mencoba mentransfer kekuatan cahayanya ke bilah pedang miliknya. Bukannya berhasil menyelamatkan raja, dirinya terhempas ke belakang setelah ujung pedangnya mengenai bola kristal.
Opera baru saja dimulai. Dari langit-langit istana yang dilukis cat putih, lima ksatria hitam melompat ke bawah dengan ilmu meringankan tubuh.
Tak ada pedang bertengger di tangan mereka. Seketika, tangan mereka menengadah ke atas, sebuah bola api hitam melayang di atas telapak tangan. Tak berlama-lama, mereka menghantamkan bola itu ke lantai. Kemudian tubuh Alva dan Kirana mendadak terlempar ke atas, membentur langit-langit istana dan menempel di sana bagai cicak.
Mereka berlima menanggalkan topeng dan jubahnya, membuka identitas asli lantas memberi hormat pada sang pemimpin. Wajah mereka mengerikan, seperti baru dikeruk dengan benda tajam. Lidah mereka ramping, menjulur panjang ke luar kira-kira tiga meter panjangnya. Kulit yang pucat berkeriput tanpa rambut. Bagian mengerikannya adalah bola mata mereka sudah tak berbentuk, tak jarang keluar dari tempatnya.
"Turunkan kami!" Alva terus meronta. Konsentrasinya nian buyar kala melihat lima makhluk aneh yang menyembah pemimpin diabhal itu. Tanpa konsentrasi penuh, kekuatan cahaya hanyalah aksesoris belaka.
Sesuatu yang dingin melingkar pada pergelangan Kirana, membuat tangannya mati rasa.
"Apa yang kau lakukan iblis!" jeritnya panik. Rahangnya hampir jatuh ke lantai ketika melihat lidah yang melingkar di pergelangan tangannya.
Salah satu makhluk aneh itu menjulurkan lidahnya ke arah Kirana. Melepaskan Kirana dari lem kasat mata yang menahannya di langit-langit istana. Makhluk itu menyeretnya kasar ke hadapan sang pemimpin.
Belati yang berkilat sinar bulan ditodongkan tepat di depan matanya. Makhluk aneh itu menyeringai tajam di hadapan matanya dengan ujung bibir menyentuh daun telinga. Mental sang dara tak ciut, tangannya mengambil gunting di tas yang masih dikalungkan di lehernya. Dengan sigap, ia menghunuskan gunting ke wajah buruk rupa itu, dari arah atas ke bawah.